Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Selasa, Februari 01, 2011

Hoegeng, oleh Adrianus Meliala (Kriminolog UI)

HOEGENG, POLRI DAN KRIMINALITAS ERA 70-AN
Adrianus Meliala


Pendahuluan
Bila tulisan-tulisan lain membahas kepribadian, perilaku dan juga unjuk kerja Hoegeng Iman Santoso selaku pribadi dan kapolri, maka tulisan ini memiliki pendekatan berbeda. Tulisan ini tidak khusus membicarakan Hoegeng, melainkan menekankan aspek lingkungan eksternal ketika Hoegeng menjabat kapolri, khususnya yang terkait dengan tugas kepolisian yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam kacamata Polri, aspek terpenting dari pemeliharaan kamtibmas adalah adanya gangguan kriminalitas. Masalahnya, gangguan tadi sebenarnya juga bisa berawal dari adanya masalah lain. Problem yang dihadapi oleh pihak yang seharusnya memberantasnya (yakni kepolisian), misalnya, bisa dan bahkan dengan mudah dapat dibuktikan dapat memperburuk situasi kamtibmas itu sendiri.
Analisis terhadap lingkungan eksternal ini pada gilirannya akan semakin memperjelas konteks kepemimpinan Hoegeng selaku kapolri. Hal ini penting untuk disimak, dikaitkan dengan dugaan bahwa Polri pada masa
Hoegeng dan juga masa kapolri-kapolri berikutnya, berada pada suatu grafik menurun khususnya yang berkaitan dengan citra dan wibawa kepolisian. Tentu saja hal itu ada hubungannya dengan setumpuk permasalahan di seputar kinerjanya; hal mana akan coba dijelaskan pula dalam artikel ini.
Permasalahan tersebut kemudian dicoba dipecahkan melalui serangkaian program pembenahan Polri, pada saat jabatan kapolri dijabat Awaloedin Djamin (Mabes Polri, 1980; dikutip Dimjati,1999).
Tulisan akan ditutup dengan assessment singkat perihal bagaimana kita seyogyanya melihat kepemimpinan Hoegeng selaku kapolri ketika itu dikaitkan dengan berbagai problema yang dihadapi bangsa pada umumnya dan Polri pada khususnya.




Pemerintahan Suharto
Era Hoegeng selaku kapolri (1968-1971) berada pada setengah dekade pertama pemerintahan Suharto. Sebagaimana diketahui, pada saat itu, Suharto tengah gencar-gencarnya melakukan pengintegrasian multi partai menjadi 3 partai. Sekber Golkar yang diprakarsai ABRI ”dipelihara” untuk mengimbangi pengaruh PKI sebelum Pemilu 1971 dan kemudian berkembang bersama partai-partai hasil fusi lainnya dan mengikuti Pemilu 1971.
Walau Suharto secara formal selalu melaksanakan konstitusi, namun karena UUD 1945 menganut strong presidential system, juga karena pribadinya yang dominan serta pengaruhnya atas Golkar, Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan Daerah, kekuasaannya dalam realitasnya adalah absolut (Djamin, 1999; h.12). MPR, DPR, bahkan BPK, DPA dan MA dikuasai sepenuhnya oleh Suharto.
Terhadap Polri sendiri, maka Hoegeng adalah kapolri pertama setelah sebelumnya menjabat Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak). Berbeda dengan sebelumnya dimana sejak 1959, Kapolri secara ex. officio menjabat Menteri Muda dan bahkan duduk di kabinet (walau sejak 1960-1966 posisinya selalu diwakili oleh Menteri Utama/Koordinator bidang Keamanan dan Pertahanan) (Djatmika, 2000). Yang perlu dicatat dalam hal ini, Hoegeng adalah pilihan Suharto sendiri dari hanya sedikit perwira tinggi Polri yang dianggap memenuhi syarat (harap dibaca: tidak terlibat dengan kekuatan politik manapun).
Pada 1965, diberlakukan hukum militer kepada Polri menyusul diikatnya Polri dengan doktrin ABRI. Pada Agustus 1967, keluar SK Presiden RI no. 132/1967, yang menetapkan ABRI sebagai bagian organisasi dari Dephankam dan meliputi AD, AL, AU dan AK (Polisi). Masing-masing angkatan dipimpin seorang Panglima Angkatan dan bertanggungjawab kepada Menhankam/Pangab. Selanjutnya, keluar Keppres no. 79/1969, disusul pula dengan Keppres no. 80/1969 tentang integrasi penuh Polri dalam ABRI baik secara yuridis formil maupun dalam pelaksanaannya (Dinas Sejarah Mabes Polri, 1980; h. 78).
Hal ini menjadikan situasi semakin paradoks dengan sifat independensi yang sedikit banyak telah terdapat dalam UU tentang Pokok-Pokok Kepolisian nomor 13 tahun 1961 baik menyangkut status, wewenang maupun hak anggota Polri.
Kekuatan Polri juga dikerahkan dalam rangka menumpas sisa-sisa anggota G30S/PKI seperti terjadi dalam Operasi Trisula di daerah Jawa Timur bersama-sama dengan Kodam VIII/Brawidjaja. Hoegeng selaku kapolri juga masih kebagian tugas “membersihkan” tubuh Polri dari simpatisan PKI (Kompas, 10 Maret 1969). Selain itu, Polri juga terlibat dalam pengawasan gerakan-gerakan sejumlah Ormas yang berfusi menghadapi Pemilihan Umum 1971 (Mabes Polri, 1996).
Polri dengan demikian benar-benar menjadi alat ABRI dalam memelihara dan mengamankan kepentingan politik Suharto. Seiring dengan itu, kriminalitas yang lebih cenderung dikendalikan dinamikanya oleh Polri adalah kejahatan kekerasan (khususnya karena amat mengganggu rasa aman masyarakat) ataupun kejahatan yang (sedikit-banyak) mengganggu atau mengancam negara. Sebaliknya, kejahatan berupa penyimpangan pejabat publik, atau yang terkait dengan pejabat publik maupun orang-orang “kuat” lainnya, hampir tak mungkin disentuh kepolisian.
Mengenai integrasi Polri dalam ABRI, Sayidiman berpendapat, bahwa sejak awal hal itu telah menjadi pertanyaan dan perdebatan (1996; h. 236). Menurutnya, adalah benar bahwa kepolisian lain sekali sifatnya dari angkatan peran. Akan tetapi, pada permulaan Orde Baru harus dihilangkan dulu kemungkinan Polri diadu domba dengan salahsatu angkatan, khususnya TNI AD.
Jadi, masuknya Polri dalam ABRI adalah dengan landasan dan alasan politik semata-mata. Belakangan, alasan yang sama juga yang membuat ABRI akhirnya rela melepas Polri pada 1999.

Kriminalitas era 70-an
Memahami kriminalitas era Hoegeng, seyogyanya dimulai dari konteks ketika itu. Upaya rejim Orde Baru untuk menerapkan kontrol negara terhadap berbagai kegiatan penciptaan keamanan ketika itu dijalankan oleh Kopkamtib yang dibentuk sejak 1965.
Pertama kali dipimpin Suharto dan kemudian oleh Sumitro lalu Sudomo, Kopkamtib bertujuan memelihara keamanan dan ketertiban nasional dengan cara memberikan kewenangan luar biasa kepada beberapa unit dalam militer sehingga tidak perlu tunduk pada prosedur pidana. Menurut Barker (1998; h. 11), selama dekade 60-70an Kopkamtib adalah operator utama dalam rangka menyingkirkan, sekurang-kurangnya menakut-nakuti kelompok komunis dan menekan pembangkang politik. Keberadaan Siskamling (sistem kegiatan keliling) maupun Petrus (pembunuhan misterius) pada 1980-an, menurut Barker, dapat dikatakan suatu perobahan metode kerja Kopkamtib.
Walau demikian, tidak berarti Kopkamtib (dan Polri) berhasil (baca: berniat sepenuhnya) menghilangkan, sebagai contoh, kelompok-kelompok keamanan lokal, yang umumnya mangkal di tempat-tempat umum maupun kawasan-kawasan pemukiman. Sejarah juga mencatat, metode represi oleh Kopkamtib tak juga membungkam kelompok-kelompok yang oposan dan kritis terhadap pemerintahan Suharto; salahsatunya adalah kelompok dimana Hoegeng aktif, yakni Petisi 50.
Berkaitan dengan gang, Barker (1988; h. 12) mencatat terdapat tak kurang dari 39 kelompok yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Sebagian besar gang itu lahir di awal Orde Baru dalam rangka ‘melawan’ komunisme. Juga, sebagian besar diantaranya ada kaitannya dengan, entah itu pelaku kejahatan jalanan Jakarta, para aktivitisnya adalah anak tentara atau memiliki ‘markas’ di dekat atau bahkan di dalam kompleks perumahan tentara.
Bagi polisi, kelompok gang yang kemudian juga dikenal sebagai bromocorah, jegger, jago, jawara atau preman, sebenarnya menantang kewenangan kepolisian. Tidak hanya terkait dengan perlindungan, bahkan untuk kegiatan penyidikan dan penghukuman tersangka pelaku kejahatan pun ditangani oleh kelompok-kelompok in ketimbang oleh polisi. Belakangan, keberadaan kelompok-kelompok ini melahirkan beberapa kasus yang membuat pening Hoegeng (lihat: Kasus-Kasus Menonjol).
Sementara itu, kriminalitas era 70-an juga telah ditandai dengan mulai maraknya korupsi. Skandal Pertamina, adalah salahsatunya. Kehadiran Komisi Wilopo, walau hanya berusia 4 bulan, adalah salahsatu indikasi kuat. Komunitas Polri ketika itu juga diindikasikan sebagian diantaranya dapat dan bersedia “menjual” pangkat dan jabatannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan dirinya, khususnya para pelanggar hukum (lihat Yusra & Ramadhan, 1993; h. 312-316).
Selain itu, kejahatan paling menonjol era 70-an adalah berbagai tipe pencurian biasa maupun pencurian dengan pemberatan (dengan target kawat telepon, kayu atau ternak). Jumlahnya dibanding total kejahatan mencapai 75%. Walau dalam jumlah yang jauh lebih kecil, tercatat pula kejahatan uang palsu, penyelundupan serta pelanggaran hukum bidang perbankan, sebagai beberapa jenis kejahatan menonjol di era Hoegeng.
Di pihak lain, terkait dengan ketertiban masyarakat, maka fenomena demonstrasi, gerombolan bersenjata di Papua, pengeroyokan yang disertai perusakan serta terjadinya sabotase melalui aktivitas pembakaran, adalah yang juga patut dicatat (Sekretariat Mabak, 1973).


Kasus-kasus menonjol
Hoegeng jelas amat terganggu akibat adanya kasus pemerkosaan Sum Kuning, penjual telur dari Yogyakarta. Sum Kuning melaporkan kepada polisi perihal orang-orang yang memperkosanya secara massal di atas kendaraan. Polisi sendiri lalu memiliki versi lain atas kasus tersebut. Dalam prosesnya, berbagai nama anak pejabat sipil dan militer, bahkan sampai-sampai nama pejabat itu sendiri terkait. Sum Kuning sendiri rupanya bukan saksi korban yang meyakinkan. Menurut Tempo (2 Oktober 1971), peristiwa Sum Kuning bagaimanapun adalah satu kisah gagal dari karir sukses seorang kepala polisi.
Kasus fenomenal lain yang akan selalu terasosiasi dengan Hoegeng adalah terbongkarnya kasus penyelundupan oleh Robby Tjahyadi. Selama tiga tahun, Robby mengimpor mobil-mobil mewah melalui pemalsuan paspor diplomatic. Menurut Yusra dan Ramadhan (1993; hal. 322-325), kasus itu melibatkan puluhan pejabat negara. Kasus tersebut terbongkar 1972 dan membawa Robby dipenjara 10 tahun.
Namun, selaku suatu bentuk top heavy corruption, cukup wajar bila akhirnya kasus Robby ‘memakan’ tokoh yang membongkarnya. Dibelakang Robby, konon terdapat jajaran petinggi ABRI dan bahkan Suharto sendiri. Dalam setting politik ketika itu, tindakan Hoegeng dapat dipersepsi sebagai tindakan ‘nekat’ dan bahkan ‘bodoh’. Dipercaya bahwa hal inilah yang menyebabkan Hoegeng diberhentikan.
Amat sedikit pejabat publik di bidang penegakan hukum, mulai dari polisi hingga hakim, yang berani mengambil tindakan nekat entah dalam bentuk melepaskan terdakwa yang diyakini bersalah, menahan tersangka yang diopinikan sebagai tidak perlu ditahan dan sebagainya.
Pada Oktober 1970, terjadi penembakan mahasiswa ITB, Rene Louis Conraad, oleh taruna Akabri Kepolisian. Kasus ini berpotensi menjadi besar dan amat politis karena menyangkut lembaga ITB yang mahasiswanya terkenal kritis dan kepolisian sendiri. Hoegeng bergerak cepat dengan mendatangi kampus ITB dan menenangkan mahasiswa. Kasus ini akhirnya dimejahijaukan dan pembunuhnya, memang seorang taruna polisi, berhasil dihukum.

Kepemimpinan di Polri
Ia dikenal sebagai pimpinan Polri yang memperkenalkan keharusan mempergunakan helm bagi pengendara motor dan juga anjuran kaki mengangkang bagi pemboncengnya. Kritik gencar kemudian dilancarkan ke arahnya. Ia akhirnya gagal dalam mensosialisasikan ide itu, salahsatunya karena isyu ‘helm’ tersebut disinyalir telah dipolitisir sedemikian rupa guna memperlihatkan ketidakmampuan Hoegeng memimpin.
Pada eranya, kantor Sekretariat National Central Bureau (NCB) Indonesia Interpol (International Criminal Police Organization – ICPO) mulai beroperasi di Jakarta, 1971. Namun itu tak menolong Hoegeng guna menyerahkan kepemimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Polisi Drs. Mohammad Hasan yang sebenarnya adalah seniornya.
Hoegeng juga memimpin Polri pada era dimana sejak 1966 tidak terdapat lagi rekrutmen personil. Sehingga, total personil Polri ketika itu adalah 145 ribu orang. Masalahnya, tidak hanya secara organisasional-operasional Polri hanya memiliki anggaran dan peralatan terbatas, tetapi juga secara politik-polisional. Disebutkan dalam buku Almanak Seperempat Abad Polri (1970) bahwa status kepolisian selalu dirundung oleh “pelbagai tafsiran” dan diikuti dengan perubahan kebijakan.
Hal tersebut, jelas bukan suatu lingkungan sosial-politik yang nyaman bagi Hoegeng dan jajarannya ketika itu. Walau UU no. 13 tahun 1961 sudah menjamin status Polri, namun sepanjang masa perkembangannya di awal-awal masa Orde Baru, Polri harus tetap prihatin. Di pihak lain, Hoegeng juga menjadi representasi jajaran Polri dalam hal pemikiran tentang tugas Polri yang ideal dikaitkan dengan tugas ABRI (lihat buku Yusra dan Ramadhan, 1993).
Dengan problematika internal tersebut, kinerja Polri dalam rangka memberantas kejahatan –minimal menekan agar tidak berkembang terlalu tinggi atau serius- menjadi apa adanya. Buku Yusra dan Ramadhan dalam hal ini mengupas pernik-pernik kegiatan kepolisian yang bersahaja era Hoegeng, di berbagai tempat dan kegiatan.
Salahsatu hal yang perlu dikomentari tentang Hoegeng selaku kapolri –ini senada dengan tulisan-tulisan lain dalam buku ini- adalah kebersahajaan dirinya menyangkut materi. Kehidupannya bagai dongeng, apalagi kalau ditilik dari situasi masa kini. Hidupnya yang secara tegas membuat jarak dengan materi, dapat dilihat sebagai drive atau dorongan tambahan bagi dirinya dan bagi Polri ketika itu untuk melakukan berbagai hal yang dipersepsikan sebagai tak mungkin dilakukan. Berbagai kasus menonjol dan penanganan yang dilakukan Hoegeng ketika itu, adalah buktinya.
Namun demikian, kombinasi antara seorang yang merakyat, bersih dan bervisi – yang mestinya merupakan kombinasi ideal seorang pejabat publik- bukanlah preferensi Suharto. Hoegeng, dalam kacamata Suharto, agaknya, dipersepsi sebagai seseorang yang antagonis terhadap dirinya, terlalu keras dan tidak bisa diatur. Gaya otoriter Suharto jelas tidak mampu menerima hal itu.
Maka terjadilah pada Hoegeng nasib yang juga menimpa Sarwo Eddie Wibowo dan juga beberapa pejabat kritis lainnya: “didubeskan” untuk tidak dikatakan dibuang. Bedanya dengan yang lain, Hoegeng menolak.


Daftar Pustaka

Barker, J., 1998, State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in
Suharto’s New Order, Indonesia, no. 66, October, Cornell
Univesity
Dimjati, A., 1999, Tinjauan Perspektif Kebijakan Kriminal Terhadap
Kebijakan Kapolri: Studi Kasus Kapolri Awaloedin Djamin dan
Kunarto, Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Kriminologi,
Universitas Indonesia
Dinas Sejarah Mabes Polri, 1980, Ikhtisar Perkembangan Organisasi
Kepolisian Republik Indonesia (1945-1980)
Djamin, A., 1999, Menuju Polri Mandidi Yang Profesional: Pengayom,
Pelindung, Pelayan Masyarakat, Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Jakarta
Djatmika, W. 2000, Abad XXI, Kemandirian dan Otonomi Daerah,
paper tidak diterbitkan, Jakarta, PTIK
Mabes Polri, 1970,l Almanak Seperempat Abad Kepolisian Republik
Indonesia, 17 Agustus 1945-17 Agustus 1970
Mabes Polri, 1980, Polda Dasar Pembenahan Polri, No. Pol:
SKEP/021/1980
Mabes Polri, 1996, Setengah Abad Mengabdi: Memperingati
Bhayangkara Emas 1 Juli 1996, Jakarta
Sekretariat Mabak, Buku Lampiran :Pelengkap Laporan Tahunan
Kepolisian RI Tahun 1973, Dephankam Mabes Polri
Suryohadiprojo, S., 1996, Kepemimpinan ABRI: Dalam Sejarah dan
Perjuangannya, Penerbit Intermasa
Yusra, A & Ramadhan, K.H., 1993, Hoegeng. Polisi : Idaman dan
Kenyataan, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Kompas, 10 Maret 1969
Tempo, 2 Oktober 1971



Adrianus Meliala
Kriminolog, dosen FISIP UI, FPsi UI, FPSi UAJ, Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian UI dan PTIK. Penasehat Ahli Kapolri sejak Kapolri Bimantoro s/d sekarang. Adviser, Police/Security Sector Reform, Partnership for Governance Reform in Indonesia

0 comments:

Posting Komentar