Sindrom
kompartemen adalah Suatu keadaan dimana timbul gejala yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intertitial di dalam ruang osteofascial
yang kemudian akan mengakibatkan menurunnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Kompartemen sendiri adalah ruangan yang berisi otot, saraf, dan pembuluh darah
yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot yang dibungkus oleh
epimisium. Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus
membran, daan fascia. Kompartemen ini sebagian besar terletak di anggota gerak.
Pada lengan
atas terdapat dua kompartemen yaitu anterior (volar) dan posterior (dorsal)
sedangkan pada lengan bawah terdapat tiga kompartemen yaitu flexor superficial,
fleksor profunda dan ekstensor. Pada tungkai atas taerdapat tiga kompartemen
yaitu anterior, medial, dan posterior. Pada tungkai bawah terdapat empat
kompartemen yaitu anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior
profunda.
Kausa dari
sindrom ini dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan etiologinya yaitu akibat
penurunan volume kompartemen, peningkatan tekanan eksternal, dan peningkatan
tekanan pada struktur kompartemen. Penurunan
volume kompartemen dapat diakibatkan oleh penutupan defek pada fascia,
traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas. Kemudian peningkatan
tekanan eksternal dapat diakibatkan oleh balutan yang terlalu ketat, berbaring
di atas lengan, dan pemasangan gips. Sedangkan peningkatan tekanan pada
struktur kompartemen dapat diakibatkan oleh perdarahan, peningkatan
permeabilitas kapiler, penggunaan otot yang berlebihan, luka bakar, operasi,
gigitan ular, dan obstruksi vena.
Beberapa teori
yang diajukan untuk menjelaskan terjadinya hipoksia pada sindrom kompartemen
adalah:
- Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.
- Theori of critical closing pressure.
- Tipisnya dinding vena.
Patofisiologi terjadinya
sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal yang mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis
jaringan lokal. Peningakatan tekanan jaringan akan menyebabkan terjadinya
obstruksi vena. Peningkatan terus menerus akan menyebabkan tekanan arteriolar
intramuskular akan meninggi sehingga akan menyebabkan kebocoran plasma ke dalam
ruang kompartemen sehingga peningkatan tekanan intrakompartemen akan semakin
besar. Akibatnya akan terjadi stasis kapiler. Jika keadaan ini terus berlanjut
akan menyebabkan terjadinya keadaan yang irreversibel yang berakhir pada
nekrosis jaringan.
Untuk
memelihara patensi aliran darah di arteriol maka tekanan arteriol harus lebih
tinggi dari tekanan jaringan. Jika keadaan ini tidak dapat dicapai, maka
arteriol akan menutup. Keadaan ini dapat diibaratkan pada keadaan kita memencet
pipa yang dialiri air. Jika tekanan yang kita berikan lebih besar dari tekanan
air yang mengalir di dalam pipa tersebut, maka pipa akan tertuitup dan terjadi
stasis. Inilah yang disebut dalam theori of critical closing pressur.
Teori ini kemudian ditambah lagi dengan teori yang mangaitkan tipisnya dinding
vena. Dimana dalam teori ini dikatakan bahwa karena dinding vena tipis. Tekanan
luar yang melebihi tekanan vena (diastol) akan menyebabkan tertekannnya vena. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya stasis vena. Apabila aliran kapiler terus
mengalir secara kontinyu, maka akan menambah tekanan vena. Makin meningkatnya
tekanan pada vena maka akan terjadi stasis. Hal ini akan menyebabkan
terganggunya aliran darah kejaringan yang akan menyebabkan terjadinya iskemia. Respon
tubuh terhadap terjadinya iskemia adalah dengan melepaskan histamine like
substance. Dengan terlepasnya histamin ini akan menyebabkan dilatasi kapiler
dan permeabilitas endotel akan meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma. Kebocoran
plasma akan menyebabkan tekanan intrakompartemen akan semakin meningkat. Hal ini
akan memperparah keadaa.
Selama latihan
fisik, maka massa otot akan meningkat sebanyak 20%. Peningkatan massa otot ini
akan menyebabkan terjadinya peningkatan sementara tekanan intrakompartemen. Kontraksi
otot yang berulang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intramuskular. Hal ini
jika terjadi terus menerus akan menyebabkan iskemia. Dan hal selanjutnya yang
terjadi telah seperti yang dibicarakan pada paragraf di atas.
Seperti menegakkan
diagnosa penyakit lain, penegakan diagnosa siondrom kompartemen juga meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa yang
penting untuk didapatkan adalah nyeri dan parestesi. Nyeri dan parestesi ini
biasanya dikeluhkan setelah adanya trauma. Gejala-gejala dari sindrom
kompartemen sendiri terjadi akibat menkanisme yang telah dijelaskan di paragraf
atas. Gejala ini meliputi 5 gejala klasik yaitu nyeri (pain) yang lebih hebat
dibanding keadaan klinis pasien (nyeri yang dirasakan seperti kram), hilangnya
denyut nadi pada kompartemen yang terkena (pulseness), parestesi, pallor dan
paralisis. Nyeri yang terjadi pada sindrom kompartemen terjadi pada saat
istirahat dan nyaeri pada saat digerakkan ke arah tertentu terutama saat
pergerakan pasif. Hal ini dapat meningkatkan kecurigaan kita kepada diagnosa
sindrom kompartemen. Nyeri ini pula biasanya tidak dapat hilang hanya dengan
pemberian analgesik termasuk morfin.
Diagnosa banding dari sindrom kompartemen
adalah Deep Vein Trombosis
dan Thrombophlebitis, Necrotizing Fasciitis, Peripheral Vascular Injuries, Rhabdomyolisis. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosa
sindrom kompartemen. Pemeriksaan tersebut meliputi:
Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak
dibutuhkan untuk mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan
diagnosis banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile (CMP)
b. Hitung
sel darah lengkap
c. Kreatinin
fosfokinase dan urin myoglobin
d. Serum
myoglobin
e. Toksikologi
urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam
menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal :
bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis
rhabdomyolisis.
g. Protrombin
time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)
Imaging
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG:
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein
Thrombosis (DVT)
Teknik yang paling objektif dalam mendiagnosa
sindrom kompartemen adalah dengan melakukan pengukuran pada tekanan
intrakompartemen sendiri. Tekanan
arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama
tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian
kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma kompartemen.
Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa menimbulkan
sindroma kompartemen, dan berarti memerlukan terapi yang segera.
Tujuan dari terapi sindrom
kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu
mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan
non-operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan selubung
eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi
perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk
ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas
yang berpengaruh pada cara untuk menindaklanjutinya.
Penanganan sindrom kompartemen
meliputi terapi non-operatif dan operatif. Pemilihan terapi non operatif digunakan apabila masih menduga
suatu sindrom kompartemen, yaitu menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk
mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat
menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. pada kasus penurunan ukuran kompartemen,
gips harus di buka dan pembalut konstriksi dilepas. pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti
racun dapat menghambat perkembangan sindrom kompartemen, mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan
produk darah, pada
peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi
tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi
kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebas.
Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila
tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan
segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat
diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya, kalau
keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan
hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan
kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Komplikasi yang
terjadi dapat berupa volkman contracture sampai gagal ginjal. Gagal ginjal ini
dapat terjadi akibat terjadinya rhabdomyolisis. Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau bertambah
buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom dilaksanakan
dan pada ada tidaknya komplikasi.
Pasien dirujuk bila sindrom kompartemen disertai
dengan ketidakmampuan atau tidak akurat dalam mendiagnosis sindrom kompartemen
karena keterbatasan alat atau diagnostik imaging, penanganan dengan bedah yang tidak memadai,
tidak tersedianya fasilitas ICU.
0 comments:
Posting Komentar