Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, Mei 15, 2013

Paten vs Generik


Untuk kali ini kita bahas masalah obat paten versus obat generik. Sebenarnya, apa sih yang disebut obat paten dan apa pula yang biasa disebut sebagai obat generik.
Ditinjau dari kata-katanya, obat paten adalah obat yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan obat dimana hanya perusahaan tersebut yang mempunyai hak paten atas obat tersebut. Hak paten tersebut diperoleh karena research yang pertama kali dilakukan untuk obat tersebut dilakukan oleh perusahaan tersebut (sama halnya dengan hak cipta barang-barang lainnya). Tentunya, hak paten ini hanya berlaku beberapa tahun saja. Setelah itu, hak paten tersebut akan hilang.
Setelah hak paten obat tersebut hilang, obat ini bebas diproduksi oleh perusahaan mana saja. Dan obat yang telah kehilangan hak paten inilah yang disebut sebagai obat generik. Obat generik ada dua macam yaitu obat generik bermerk/berlogo dan obat generik yang tidak bermerk. Obat generik bermerk inilah yang sering dianggap sebagian besar masyarakat sebagai “obat paten”.
Selama ini, orang sering salah atau latah dengan menyebut obat generik bermerk sebagai obat paten. Hal inilah yang seharusnya diluruskan oleh semua orang yang berkecimpung di dunia medis. Karena anggapan inilah, program pemerintah terkadang sulit dilakukan. Sebagai contoh, di puskesmas, yang diberi adalah obat generik tidak bermerk seperti Paracetamol. Karena ketidaktahuan dari pasien, obat tersebut kurang dianggap berkhasiat (karena dianggap bukan obat paten) dibanding Fasgo yang merupakan obat generik bermerk (kandungan Fasgo = Paracetamol). Seperti yang sudah dimaklumi oleh para dokter, sugesti lebih berperan dalam kesembuhan pasien dibanding obat dan tatalaksana lain yang kita lakukan. Oleh karena itu, kebanyakan pasien lebih mengatakan obat yang diberikan di puskesmas kurang bermutu dibandingkan di klinik/RS Swasta karena mereka beranggapan bahwa yang diberikan di Puskesmas bukan “obat paten” sehingga khasiat obat “kurang”.
*Pernah disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes (Mantan Ketua IDI/Dosen FK UNSRI Palembang) saat kuliah Kedokteran Komunitas. Ditulis kembali dengan bahasa bebas.