Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Kamis, Juni 07, 2012

Sindrom Kompartemen



Sindrom kompartemen adalah Suatu keadaan dimana timbul gejala yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intertitial di dalam ruang osteofascial yang kemudian akan mengakibatkan menurunnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Kompartemen sendiri adalah ruangan yang berisi otot, saraf, dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot yang dibungkus oleh epimisium. Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, daan fascia. Kompartemen ini sebagian besar terletak di anggota gerak.
Pada lengan atas terdapat dua kompartemen yaitu anterior (volar) dan posterior (dorsal) sedangkan pada lengan bawah terdapat tiga kompartemen yaitu flexor superficial, fleksor profunda dan ekstensor. Pada tungkai atas taerdapat tiga kompartemen yaitu anterior, medial, dan posterior. Pada tungkai bawah terdapat empat kompartemen yaitu anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior profunda.

Kausa dari sindrom ini dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan etiologinya yaitu akibat penurunan volume kompartemen, peningkatan tekanan eksternal, dan peningkatan tekanan pada struktur kompartemen. Penurunan  volume kompartemen dapat diakibatkan oleh penutupan defek pada fascia, traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas. Kemudian peningkatan tekanan eksternal dapat diakibatkan oleh balutan yang terlalu ketat, berbaring di atas lengan, dan pemasangan gips. Sedangkan peningkatan tekanan pada struktur kompartemen dapat diakibatkan oleh perdarahan, peningkatan permeabilitas kapiler, penggunaan otot yang berlebihan, luka bakar, operasi, gigitan ular, dan obstruksi vena.
Beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan terjadinya hipoksia pada sindrom kompartemen adalah:
  1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.
  2. Theori of critical closing pressure.
  3. Tipisnya dinding vena.

Patofisiologi terjadinya sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal yang mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal. Peningakatan tekanan jaringan akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena. Peningkatan terus menerus akan menyebabkan tekanan arteriolar intramuskular akan meninggi sehingga akan menyebabkan kebocoran plasma ke dalam ruang kompartemen sehingga peningkatan tekanan intrakompartemen akan semakin besar. Akibatnya akan terjadi stasis kapiler. Jika keadaan ini terus berlanjut akan menyebabkan terjadinya keadaan yang irreversibel yang berakhir pada nekrosis jaringan.
Untuk memelihara patensi aliran darah di arteriol maka tekanan arteriol harus lebih tinggi dari tekanan jaringan. Jika keadaan ini tidak dapat dicapai, maka arteriol akan menutup. Keadaan ini dapat diibaratkan pada keadaan kita memencet pipa yang dialiri air. Jika tekanan yang kita berikan lebih besar dari tekanan air yang mengalir di dalam pipa tersebut, maka pipa akan tertuitup dan terjadi stasis.  Inilah yang disebut dalam theori of critical closing pressur. Teori ini kemudian ditambah lagi dengan teori yang mangaitkan tipisnya dinding vena. Dimana dalam teori ini dikatakan bahwa karena dinding vena tipis. Tekanan luar yang melebihi tekanan vena (diastol) akan menyebabkan tertekannnya vena. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya stasis vena. Apabila aliran kapiler terus mengalir secara kontinyu, maka akan menambah tekanan vena. Makin meningkatnya tekanan pada vena maka akan terjadi stasis. Hal ini akan menyebabkan terganggunya aliran darah kejaringan yang akan menyebabkan terjadinya iskemia. Respon tubuh terhadap terjadinya iskemia adalah dengan melepaskan histamine like substance. Dengan terlepasnya histamin ini akan menyebabkan dilatasi kapiler dan permeabilitas endotel akan meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma. Kebocoran plasma akan menyebabkan tekanan intrakompartemen akan semakin meningkat. Hal ini akan memperparah keadaa.
Selama latihan fisik, maka massa otot akan meningkat sebanyak 20%. Peningkatan massa otot ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan sementara tekanan intrakompartemen. Kontraksi otot yang berulang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intramuskular. Hal ini jika terjadi terus menerus akan menyebabkan iskemia. Dan hal selanjutnya yang terjadi telah seperti yang dibicarakan pada paragraf di atas.
Seperti menegakkan diagnosa penyakit lain, penegakan diagnosa siondrom kompartemen juga meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa yang penting untuk didapatkan adalah nyeri dan parestesi. Nyeri dan parestesi ini biasanya dikeluhkan setelah adanya trauma. Gejala-gejala dari sindrom kompartemen sendiri terjadi akibat menkanisme yang telah dijelaskan di paragraf atas. Gejala ini meliputi 5 gejala klasik yaitu nyeri (pain) yang lebih hebat dibanding keadaan klinis pasien (nyeri yang dirasakan seperti kram), hilangnya denyut nadi pada kompartemen yang terkena (pulseness), parestesi, pallor dan paralisis. Nyeri yang terjadi pada sindrom kompartemen terjadi pada saat istirahat dan nyaeri pada saat digerakkan ke arah tertentu terutama saat pergerakan pasif. Hal ini dapat meningkatkan kecurigaan kita kepada diagnosa sindrom kompartemen. Nyeri ini pula biasanya tidak dapat hilang hanya dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Diagnosa banding dari sindrom kompartemen adalah Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis, Necrotizing Fasciitis, Peripheral Vascular Injuries, Rhabdomyolisis. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosa sindrom kompartemen. Pemeriksaan tersebut meliputi:
Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
a.    Complete Metabolic Profile (CMP)
b.   Hitung sel darah lengkap
c.    Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
d.   Serum myoglobin
e.   Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f.     Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
g.    Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)
Imaging
a.      Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b.    USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein Thrombosis  (DVT)
Teknik yang paling objektif dalam mendiagnosa sindrom kompartemen adalah dengan melakukan pengukuran pada tekanan intrakompartemen sendiri. Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma kompartemen. Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa menimbulkan sindroma kompartemen, dan berarti memerlukan terapi yang segera.
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan non-operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindaklanjutinya.
Penanganan sindrom kompartemen meliputi terapi non-operatif dan operatif. Pemilihan terapi non operatif digunakan apabila masih menduga suatu sindrom kompartemen, yaitu menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut konstriksi dilepas. pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindrom kompartemen, mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah, pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa volkman contracture sampai gagal ginjal. Gagal ginjal ini dapat terjadi akibat terjadinya rhabdomyolisis. Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.
Pasien dirujuk bila sindrom kompartemen disertai dengan ketidakmampuan atau tidak akurat dalam mendiagnosis sindrom kompartemen karena keterbatasan alat atau diagnostik imaging, penanganan dengan bedah yang tidak memadai, tidak tersedianya fasilitas ICU.

0 comments:

Posting Komentar