Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Minggu, Januari 15, 2012

Disfungsi dan Disabilitas Seksual (Randall-Braddom)

Seksualitas merupakan salah satu dari aspek yang paling rumit dari kehidupan manusia dengan berbagai macam pengaruh organik dan psikososialnya. Merupakan sebuah topik yang sulit untuk didiskusikan dalam kantor seorang dokter. Seringkali memunculkan perasaan malu dan ketidaknyamanan dari pasien dan praktisi, namun merupakan satu dari determinan terpenting dari kualitas hidup. Disabilitas seringkali mengakibatkan efek dramatis yang negatif dalam fungsi seksual, namun tidak merubah atau mengganggu kebutuhan manusia akan kedekatan, pasangan, dan kepuasan fisik yang seksualitas bisa berikan. Psikiater yang memiliki keberanian dan pengetahuan untuk secara terbuka menyampaikan masalah disfungsi seksual dengan pasien akan bisa memperkaya kehidupannya dengan skala yang tidak bisa diukur.

Tujuan dari bagian ini adalah memberikan selayang pandang dalam fungsi dan disfungsi seksual, dengan mengutamakan tantangan seksual yang dihadapi oleh orang dengan disabilitas. Perawatan yang banyak telah dilakukan untuk memberikan terapi yang setara pada disfungsi seksual baik pada pria maupun wanita, sebagaimana seksualitas wanita seringkali luput dilihat, baik dalam masyarakat dan literatur medis.


Respon dan Tingkah Laku Seksual
Respon Seksual Manusia
Model klasik dari respon seksual manusia di formulasikan oleh Masters dan Johnson pada tahun 1960 didasarkan pada penelitian dari 600 pria dan wanita yang sehat. Model ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki respon seksual yang serupa, melalui 4 fase yaitu eksitasi, stabil, orgasme, dan resolusi (Tabel 31-1). Pada model Masters dan Johnson, pria cenderung melalui setiap fasenya dengan lebih cepat, dan mencapai hanya sebuah orgasme setiap siklusnya, seringkali dengan fase stabil yang sangat pendek. Wanita bisa mencapai orgasme multipel dalam siklus respon seksual yang sama. Masters dan Johnson juga mencatat bahwa wanita bisa “tertunda” pada fase stabil dan kemudian masuk ke dalam fase resolusi, tanpa melalui fase orgasme.
Telah ditemukan banyak kritik dari model respon seksual Masters dan Johnson, utamanya karena menempatkan terlalu banyak keutamaan dalam respon genital dan tidak mengakui peranan kontrol neurofisiologi sentral. Pada akhir tahun 1970an Kaplan membuat model respon seksual yang baru dengan tiga fase: keinginan, eksitasi, dan orgasme. Pada model Kaplan, keinginan selalu mendahului gairah, dan digambarkan sebagai “sensasi spesifik yang memotivasi individu untuk menginisiasi atau menjadi responsif kepada stimulasi seksual.” Model Kaplan, seperti Masters dan johnson, memberikan usulan bahwa respon seksual manusia adalah linear dan umumnya tidak berbeda antara wanita dan pria.
Penelitian yang lebih baru lebih jauh lagi membuat kita mengerti respon seksual manusia, khususnya atas cara bagaimana siklus respon seksual bisa berbeda dari pria dan wanita. Model Masters dan Johnson  dan Kaplan tidak mengindahkan komponen mayor dari kepuasan seksual wanita, semisal pentingnya kepercayaan, kasih sayang, kehormatan dan komunikasi. Basson mengusulkan model baru untuk respon seksual wanita untuk menunjukkan perbedaan gender ini pada tahun 2000 hingga 2001 (Gambar 31-1).
Model Sirkular Basson mengutamakan respon seksual wanita yang jauh lebih kompleks dibanding pria. Pada wanita, pertemuan seksual tidak harus dimulai oleh tempat dorongan dan keinginan seksual spontan, pendekatan wanita seringkali menjadi intim dari tempat  netralitas seksual, dan keputusan menjadi terkait secara seksual bisa dihasilkan dari berbagai faktor, termasuk keinginan untuk secara emosional bisa berhubungan dengan pasangannya. Gairah seksual dan kepuasan seksual seringkali tidak muncul hanya karena fisik, semisal karena stimulasi klitoris dan orgasme, namun juga bisa tergantung atau tidak berwujud semisal kemampuan untuk memfokuskan pikiran dalam momen saat itudan perasaan keamanan atau kesehatan psikologis. Siklus respon seksual yang sirkuler mungkin bisa diulang dalam jumlah yang banyak dalam sebuah hubungan seksual yang sama. Janssen,dkk juga telah mengusulkan model sirkular dari respon seksual manusia yang serupa dengan Basson, namun mungkin lebih dapat diaplikasikan pada kedua jenis kelamin.

Tingkah Laku Seksual dan umur
Frekuensi aktivitas seksual telah didokumentasikan dengan baik dalam penurunannya berhubungan dengan umur. Penelitian baru-baru iii telah menunjukkan hal yang jauh lebih sedikit dari yang sebelumnya diperkirakan dan seksualitas tetap menjadi kontributor yang penting kepada kualitas hidup selama siklus hidup. Sebuah alasan penting untuk perbedaan adalah penelitian yang lebih tua cenderung lebih menkuantifiksasikan aktivitas seksual sebagai bersenggama, namun penelitian yang lebih modern melihat seluruh aspek seksualitas, sebuah penelitian pada wanita dan pria berumur 80 hingga 102 tahun menemukan 63% pria dan 30% wanita berlanjut menjalani senggama seksual, dimana 83% pria dan 64 wanita yang berpartisipasi dalam aktivitas menyentuh dan membelai tanpa senggama, dan 72% pria dan 40% wanita melakukan masturbasi.
Banyak faktor medis mempengaruhi aktivitas seksual pada orang lanjut usia, termasuk disfungsi seksual yang disebabkan oleh penyakit medis, meningkatkan kelemahan, dan efek samping medikasi. Wanita postmenopause lebih cenderung untuk mengalami atrofi vulvovaginal dan kekeringan vagina, yang menyebabkan nyeri saat penetrasi vagina. Lelaki mengalami penurunan testosteron sesuai dengan berjalannya umur, yang berkontribusi dalam menurunnya gairah seksualdan juga memiliki efek fisik yang berkontribusi kepadakelemahan. Batasan psikososial kepada aktivitas seksual pada lansia banyak ditemukan, termasuk penurunan availabilitas pasangan, perubahan pencitraan badan dan perubahan pada persepsi diri, penurunan kognitif, dan masalah lingkungan semisal kehilangan privasi pada banyak latar belakang tempat tinggal.



Tipe Disfungsi Seksual
Sistem Klasifikasi
Disfungsi seksual secara frekuentif diklasifikasikan berdasarkan DSM-IV-TR. Untuk berkualifikasi ke dalam disfungsi seksual, masalah seksual seseorang harus menyebabkan kesulitan intrapersonal atau menyebabkan stress yang terlihat.  Perbedaan ini penting untuk mengingatkan pasien dengan disabilitas, karena mereka mungkin mengalami respon seksual yang berubah namun tidak memiliki disfungsi seksual dengan cara spastisitas yang sama setelah struk atau sensasi ilusi setelah amputasi tidak selalu menjadi masalah yang perlu untuk ditanggulangi oleh dokter, kesulitas seksual pasien hanya perlu di terapi saat kualitas hidup pasien terpengaruh secara buruk.
DSM-IV-TR mengizinkan tiga subtipe untuk digunakan pada semua diagnosis primer untuk lebih lanjut lagi mengklarifikasi sifat disfungsi seksual. Subtipe yang pertama menggambarkan onset dari penyakit, baik seumur hidup, maupun didapat (yang berarti hal ini berkembang setelah sebuah periode normal dari fungsi yang normal). Subtipe kedua digunakan untuk menentukan konteks dimana disfungsi ini muncul, umum atau situasional (berati terbatas kepada stimulasi dengan tipe yang jelas, situasi, atau pasangan). Subtipe ketiga menunjukkan faktor etiologik yang dihubungkan dengan disfungsi seksual, praktisi harus menentukan apakah masalahkarena faktor fisiologi semata, atau karena kombinasi faktor fisiologis dan efek patologis dari kondisi medis umum. Jika penyakit seksual dijelaskan secara penuh dengan kondisi medis umum atau penyalahgunaan substansi, tanpa faktor psikogenik, maka dikodekan secara terpisah. Disfungsi seksual DSM-IV-TR dituliskan pada tabel 31-2. Ada...........

Tabel 31-1 Model Respon Seksual Masters dan Johnson
Eksitasi
·         Dihubungkan dengan indera, memori dan fantasi
·         Peningkatan denyut jantung, tekanan darah, kecepatan pernafasan
·         Miotonia terjadi pada fase gairah akhir
·         Pria: pembesaran corpus cavernosa penis, elevasi testikuler, pendataran kulit skrotum, kemungkinan ereksi puting
·         Wanita: pembesaran klitoris, lubrikasi vagina, konstriksi satupertiga bawah vagina dengan dilatasi dua pertiga atas, elevasi uterus keluar dari pelvis dalam, ereksi puting, pembesaran areola
Stabil
·         Lebih jauh meningkatkan denyut jantung, jumlah pernafasan, tonus otot
·         Gairah seks mungkin terjadi (ruam diatas leher dan muka)
·         Pria: penambahan diameter dan warna glans penis, peningkatan elevasi testis dan ukuran sebanyak 50%-100% diatas garis basis
·         Wanita: pembesaran payudara hingga 50% tabung klitoral dan retraksi glans
·         Bertahan dalam detik hingga menit, dan seringkali digambarkan dengan “rasa umum sehat atau baik”
Orgasme
·         Lebih jauh lagi meningkatkan denyut jantungm tingkat pernafasan dan tekanan darah
·         Kontraksi ritmik involunter dari otot dasar pelvis
·         Pria: hanya satu orgasme persiklus
·         Wanita: bisa memiliki orgasme multipel per siklus atau bisa langsung memasuki fase resolusi tannpa melalui fase orgasme.
Resolusi
·         Perspirasi umum dengan konjungsi kemunduran gradual dari perubahan diatas dalam denyut jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan
·         Bertahan 5 hingga 15 menit, namun penis tidak kembali pada ukuran normalnya selama 30-60 menit setelah orgasme
Dimodifikasi dari Masters WH,Johnson VE: Respons Seksual Manusia, Boston 1980, Buku Bantam
Baru baru ini telah secara ilmiah diperdebatkan  tentang kegunaan klinis pada sistem klasifikasi DSM-IV-TR. 13,27,28  Berdasarkan Masters dan Johnson, dan Kaplan liniar model respons seksual manusia, oleh karena itu sering dikritik sebagai tidak menjadi perwakilan respon seksual manusia, terutamanya untuk disfungsi seksual pada wanita. 19 Masalah lain dengan kriteria  DSM-IV-TR  adalah kelainan seksual, terutamanya disfungsi ereksi dan dyspareunia, biasanya didiagnosis independen dari etiologi. Gangguan seksual sulit untuk sepenuhnya diklasifikasikan sesuai dengan kriteria yang mandat etiologi dikenal sebelum diagnosis. 27 Sebagai tambahan, penelitian menunjukkan di antara gangguan seksual, terutama pada wanita dan sistem klasifikasi DSM-IV-TR tidak mengizinkan temuan ini. 27,135,190,206
            Sejumlah konferensi internasional konsensus telah diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. 26,27,140,141 Pedoman mereka mengikuti format umum yang sama dengan DSM-IV-TR, , tetapi mereka memperkenalkan definisi yang terbaru mengenai gangguan seksual.  DSM-V bakal di perkenalkan pada tahun 2012,  sementara itu laporan mengenai consensus  konferensi mengandung definisi gangguan seksual terbaik saat ini.
Table 31-2 Sexual Dysfunction in the DSM-IV-TR
Sexual desire Disorder
302.71             Hypoactive sexual desire disorder
302.79             Sexual aversion disorder
Sexual Arousal Disorders
302.72             Female sexual arousal disorders
302.72             Male erectile disorders
Orgasmic Disorders
302.73             Female orgasmic disorders
302.74             Male organismic disorders
302.75             Premature Ejaculation

Sexual Pain Disorders
302.76             Dyspareunia ( not due to a general medical condition)
306.51             Vaginismus ( not due to general medical condition )
Sexual Dysfunction Due to General Medical Condition
625.8               Female hypoactive sexual desire disorders due to general medical condition
608.89             Male hypoactive sexual desire disorders due to general medical condition
607.84             Male erectile disorders due to general medical conditions
625.0               Female Dyspareunia due to general medical conditions
608.89             Male Dyspareunia due to general medical conditions
625.8               Other female sexual dysfunction due to general medical conditions
608.89             other male sexual dysfunction due to general medical conditions
--.--                  Substance-induced  sexual dysfunctions (coding is substance  specific)
302.70             Sexual dysfunctions Not otherwise specified
Dari Americal Psychiatric Association: Diagnostic and statistical manual of mental disorders.
Fourth edition text revision ( DSM-IV-TR), Washington, DC 2000, American Psychiatric



Gangguan disfungsi seksual pada laki-laki
Fokus utama pada klinikal dan penelitian pada laki-laki dengan gangguan seksual telah secara tradisional berpusatkan pada masalah, terutama dusfungsi ereksi dan ejekulasi prematur. Ini merupakan masalah mayor.150,156,192. Secara murni, masalah gangguan seksual pada laki-laki sering disalah artikan sebagai disfungsi ereksi oleh ahli kesehatan. Tipe disfungsi seksual termasuk :
·         Hypoactive sexual desire disorder (HSDD) : terus-menerus atau berulang atau defisit fantasi seksual dan keinginan untuk aktivitas seksual, kira-kira faktor  yang mempengaruhi fungsi seksual adalah  seperti usia dan konteks kehidupan. HSDD telah dilaporkan terjadi pada 0% hingga 15% pada laki-laki, dengan metanalisis terbaru dari Simons dan Carey 216 menunjukkan prevelensi 0% hingga 3% pada laki-laki.
·         Sexual aversion disorder :  terus-menerus atau berulang untuk, dan menghindari semua kontak seksual dengan pasangan
·         Gangguan ereksi pada laki-laki : terus-menerus atau berulang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau kemampuan bertahan sehingga selesai aktivitas seksual dan ereksi yang maksimal.  Diagnosis biasanya didapati dari pasien sendiri dan gangguan ereksi dapat ditegakkan dalam tempoh 3 bulan 141. Hasil studi dari Massacusetts Male Aging pada tahun 1994 menunjukkan 35% laki-laki berusia diantara 40 tahun hingga 70 tahun mengalami gangguan ereksi sedang  hingga berat, manakala 25% mengalami gejala ringan. 75  The 2006 National Health and Nutrition Examination Study diadakan untuk membuat sampel beragam populasi dan gangguan ereksi ditemui satu dalam 5 populasi yang melebihi usia 20 tahun. 199 Gangguan ereksi mempunyai hubungan dengan usia yang lanjut, penyakit jantung, diabetes, dyslipidemia, merokok, obesitas dan depresi. 205
·         Premature ejaculation disorder : terus- menerus atau berulang ejakulasi dengan stimulasi minimal sebelumnya atau sesaat penetrasi dan sebelum kemahuan seseorang iti. Faktor yang durasi dari fase excitement harus diperhitungkan, seperti usia, pasangan atau situasi dan aktivitas seksual yang paling terbaru. Konsensus terbaru telah menentukan 3 kondisi harus di didapatkan untuk menegakkan diagnose premature ejaculation disorders: (1) Ejakulasi 1 hingga 1.5menit setelah penetrasi ; (2)  Kekurangan kontrol tentang kemampuan untuk melambatkan ejakulasi ; dan (3) Kesulitan Psychogenic  pada pasien, mitra pasien atau kedua. 141,154,193 Premature ejaculation adalah diantara gangguan paling sering pada laki-laki, kira kira 15% hingga 30% pada semua usia kohort. 135,189,193 Kira-kira 30% laki-laki dengan gangguan ereksi seiring dengan gangguan ejakulasi, Yang biasanya adalah akibat ejakulasi awal tanpa ereksi maksimal. 97  Gangguan ejakulasi premature biasanya dikarenakan kombinasi organic, psygogenik dan hubungan. 193
·         Male organism disorder (MOD) : terus menerus atau berulang atau tidak terjadi orgasm setelah hubungan seksual. MOD dibagi menjadi : ejakulasi lambat, anejaculation, anorgasmic, retrograde ejakulasi, dan penuaan berhubungan dengan  penile hypoesthesia.141,153 Mod berasal dari beberapa penyebab anatomis, neurogenik, dan endokrin dan juga efek samping obat dan psychogenic. 153  Prevelensi MOD pada populasi adalah rendah dari 0% hingga 9%. 216 
·         Dyspareunia :  berulang atau terus menerus kesakitan pada alat kelamin pada saat berhubungan seksual. Dyspareunia  pada laki laki lebih rendah berbanding wanita, dengan estimasi dari 0,2 % hingga 8%. 216  Pada laki laki gay ( laki laki yang berhubungan sejenis ) prevelensi kira kira 3% ( insertive ) dan 16% ( receptive ). 191
·         Priapism : Ereksi yang tidak berhubungan dengan kemauan seksual atau stimulasi seksual dan bertahan lebih 4 jam . Terdapat 3 tipe Priapism  yang berlainan : (1)  low-flow  atau priapism iskemik , (2)   priapism oxygenated,  dan (3)  priapism  yang berulang. 141    Low-flow priapism  adalah tipe yang paling sering. Ia adalah contoh dari sindrom compartment  dan dapat menjadi nekrosis pada otot cavernous jika tidak diobati secepatnya.  High-flow priapism  jarang terjadi dan dapat terjadi congenital, idiopatik atau terjadi setelah operasi atau trauma pelvik. Priapism  yang berulang  banyak terjadi pada penyakit sickle cell dan biasanya high-flow. Priapism  secara relatif jarang terjadi  dan biasanya berhubungan dengan kegunaan obat dan dengan gangguan vaskular. 139
·         Peyronie’s disease: gangguan yang diperoleh dari Tunica  albuginea  dikarakeristik  dengan formasi plak oleh jaringan fibrous dan sering dengan nyeri penile dan deformitas pada ereksi.  Dapat terjadi penile curvature yang excessive yang menyebabkan kesulitan penetrasi dan gangguan kapasiti ereksi.141  Penyakit Peyronie’s biasanya berhubungan dengan trauma pada penis. Kejadian yang dilaporkan 1% pada populasi dan meningkat dengan usia.114   Diagarkan Penyakit Peyroni’s akan meningkat 15% pada laki laki yang berusia lebih 50 tahun.

Gangguan disfungsi seksual pada wanita
Gangguan seksual pada wanita sangat biasa, dengan laporan prevelensi 40% hingga 50% pada populasi multipel berdasarkan studi.13,135  Gangguan seksual pada wanita menjadi perhatian  untuk penelitian pada dekad lalu, antara lain berdasarkan pengertian baru mengenai respon seksual pada wanita  disiklus usulan oleh Basson, 19 dan implikasi pengertian terhadap diagnosa dan pengobatan. 150
Perbedaan pada gangguan seksual laki-laki, aspek psychogenik pada fungsi sexual wanita menerima perhatian berlebihan  dari  etiologi organic  disfungsi . Ketidak-sesuaian ini ialah sebagian karena kelembagaan prasangka, tetapi itu juga berdasarkan tumbuh badan data menyarankan bahwa faktor psychogenic lebih berhubungan dengan gangguan seksual pada wanita berbanding masalah kesehatan.26,135    Ia adalah penting untuk diingati  bahwa penderitaan peribadi perlu untuk membangunkan diagnosis gangguan seksual pada penderita wanita.  Sampai dengan 5% wanita yang mengalami masalah gangguan seksual tidak mempunyai penderitaan peribadi jadi mereka tidak boleh di klasifikasi sebagai menderita disfungsi seksual. 207    Tipe gangguan seksual pada wanita adalah seperti berikut :
·         HSSD ( juga dikenali sebagai women’s sexual interest/ desire disorder ) :  Tidak atau hilang sama sekali kemahuan untuk berhubungan seksual, tidak mempunyai pikiran atau fantasi dan kurang respon pada kemahuan seksual. Motivasi untuk mencoba untuk mempunyai seksual arousal sangat jarang atau sama sekali tidak ada. Kurang minat harus melewati apa yang dipertimbangkan biasa untuk  usia wanita  dan lamanya hubungan, dan masalah  sering dan menetap  tidak berhubungan dengan situasi hidup atau hubungan. 26,207  Kekurangan kemahuan respon merupakan kunci diagnosis dan banyak wanita normal tidak memiliki keinginan seksual secara tiba tiba dan fantasia tau kemahuan seksual. 23  HSDD pada wanita secara tradisional telah dihubungkan dengan menopause tapi  studi populasi terbaru tidak ketemu hubungan diantara menopause. Ia tidak jelas bawa menopause atau peningkatanusia berhubungan secara langsung dengan HSDD. 103,125,207  Anggaran  prevelensi  berubah pada studi populasi dan dikirakan antara 24% hungga 43%. Segraves dan Woodard 207, menganggarkan prevelensi lebih rendah kira kira 5.4% hingga 13.6% jika kriteria tegas HSDD di aplikasikan untuk menegakkan diagnosis.
·         Sexual aversion disorder :  Secara terus menerus atau berulang phobia atau mengelakkan kontak seksual. Ini sering di temani dengan respon physiologic untuk hubungan seksual yang bakal di coba seperti panik, mual, kemuakkan dan sesak nafas. 125  Pengalaman trauma seksual atau fisikal atau perlecehan seksual biasanya mengalami gangguan tersebut. Prevelense tidak diketahui dan gangguan ini dianggap oleh orang ramai sebagai  jarang terjadi .60,80
·         Female sexual arousal disorder : secara terus menerus atau berulang tidak mempunyai abilitas untuk menahan sehingga selesai hubungan seksual, kurang kepuasan hubungan seksual. Ini dapat didikatakan sebagai kurang minat atau kurang lubrikasi atau bengkak atau respon somatic lain. 27   Tiga sub tipe untuk diagnosis ini telah di bicarakan : (1) subjective sexual arousal disorder dengan menggunakan lubrikasi vagina tapi keinginan seksual kurang, (2) combined genital and subjective arousal disorder  dan (3) genital sexual arousal disorder( tidak ada lubrikasi genital.) 26, 125  Prevelensi dianggarkan 6% hingga 21%. 216
·         Gangguan gairah seksual persisten: stimulasi spontan dan gairah genital yang menganggu (seperti kesemutan, berdenyut ) ketika ketiadaan hasrat seksual. Setiap hasrat seksual bersifat subyektif dengan cirri masing-masing namun tidak selalu menyenangkan. Gairah seksual biasanya tidak hanya hilang dengan orgasme dan berlangsung berjam-jam bahkan untuk beberapa hari.26
·         Gangguan orgasmik pada perempuan: persisten atau kurangnya orgasme ditandai menurunnya intensitas nyata dari sensasi orgasme atau menunda orgasme dari segala bentuk rangsangan meskipun terdapat laporan  bahwa gairah seksual tinggi atau kegembiraan.26 Gangguan orgasme pada wanita seringkali sulit untuk dibedakan dari gangguan gairah tanpa adanya riwayat sebelumnya, karena wanita dengan penurunan gairah juga tidak akan mampu mencapai orgasme.125 Banyak wanita yang orgasme pada situasi tertentu dengan arti bahwa mereka dipercaya dapat mencapai orgasme dengan beberapa bentuk rangsangan. Hubungan seksual saja bukanlah cara yang dapat diandalkan bagi banyak wanita untuk mencapai orgasme.125 Prevalensi gangguan orgasme pada perempuan diperkirakan 24% dalam kesehatan nasional dan servei kehidupan sosial.135 Perkiraan lain berkisar dari 4% menjadi 42% berdasarkan  penelitian dan metodologi yang dilakukan.216
·         Vaginismus: kesulitan berulang/ persisten dari pada wanita untuk memungkinkan masuknya penis kedalam vagina, jari, dan atau objek apapun, meskipun wanita tersebut menyatakan ingin melakukannya.adanya keadaan tersebut kemungkinan karena sering menghindari fobia penetrasi dengan pengalaman yang dirasakan sakit, bersama dengan kontraksi otot panggul disengaja/spasme. Struktural atau abnormal secara fisik harus disingkirkan atau ditangani. Vaginismus sebelumnya didefinisikan sebagai spasme yang terjadi terus-menerus dari sepertiga bagian luar yang mengganggu dengan penetrasi vagina dan sering diklasifikasikan sebagai gangguan nyeri seksual. Penelitian terbaru dan pendapat yang dilakukan secara konsensus mempunyai definisi klasik karena spasme otot dan bahkan rasa sakit tidak selalu hadir.10,26,125,182 dimana tingkat prevalensi yang dilaporkan yaitu 1% sampai 60%.
·         Dispareunia: persisten atau nyeri berulang pada saat mencoba masuk ke dalam vagina secara lengkap, vagina penis saat berhubungan. Dispareunia sebelumnya dianggap murni akibat psikogenik. Tetapi sekarang diketahui bahwa faktor biologis juga memiliki peran. Beberapa karakteristik dispareunia sebagai gangguan nyeri yang mengganggu seksualitas bukan merupakan kelainan seksual yang ditandai oleh rasa sakit.37,125 Diagnosis diferensial dari dispareunia pada wanita meliputi atrofi vulvovaginal, kekeringan vagina postmenopause, dan nyeri panggul myofascial atau disfungsi. Penyebab umum lainnya termasuk vulvodyna dispareunia (nyeri vulva tanpa tanda-tanda kondisi patologis dan tanpa diagnosis etiologi yang diketahui), vestibulodynia (sejenis vulvodynia lokal khusus untuk vestibulum vulva) dan vulva vestibulitis syndrom (vestibulodynia berhubungan dengan inflamasi yang tampak perubahan pada pemeriksaan fisik).29,91,125Gangguan uretra, cystitis, bladder pain syndrome (sebelumnya dikenal sebagai  interstisial kronis cystitis), variasi anatomi, adhesi pelvis, infeksi, endometriosis, penyakit radang usus, nyeri dinding perut, kanker, late effects of pelvic radiation, penyakit kulit vulvovaginal (seperti lichen sclerosis atau lichen planus) dan sindrom kongesti pelvik juga bisa menyebabkan dispareunia kronis. Dispareunia diperkiraan memiliki prevalensi berkisar antara 3% sampai 18% pada populasi umum, 3% sampai 46% dalam perawatan utama dan 9% hingga 21% pada wanita postmenopause.216
·         gangguan nyeri seksual nonkoitus: nyeri genital berulang atau persisten yang disebabkan oleh rangsangan seksual nonkoitus. Diagnosis banding meliputi inflamasi, kondisi dermatologi dan kondisi anatomi serta trauma.13
Disfungsi seksual pada kecacatan dan penyakit kronis.
Perkembangan disfungsi seksual setelah timbulnya disabilitas atau ketidakmampuan  biasanya berhubungan dengan faktor etiologi yang beragam yang dapat dikelompokkan menjadi lima kategori yang berbeda: perubahan fisik primer, keterbatasan fisik sekunder, kontribusi psikososial, pengaruh kondisi komorbiditas, dan faktor obat yang terkait.
Perubahan fisik primer berasal dari patofisiologi suatu penyakit dan secara langsung mempengaruhi respon seksual. Perubahan fisik utama ini dapat mencakup perubahan sensasi genital, penurunan lubrikasi vagina, ED atau anorgasmia. Keterbatasan fisik sekunder juga berkontribusi penting dalam perkembangan kesulitan seksual setelah disabilitas/ketidakmampuan. Semua ini merupakan efek tidak langsung dari proses penyakit yang tidak mempengaruhi fungsi genital atau respon seksual, akan tetapi membuat aktivitas seksual yang tidak menyenangkan. Contoh keterbatasan fisik sekunder termasuk kelelahan, nyeri, kelemahan, spastisitas, kontraktur, ataksia, disfungsi usus dan kandung kemih serta gangguan kognitif. Psikososial berkontribusi pada perkembangan disfungsi seksual termasuk psikologi, emosional, relasional, situasional, serta faktor sosial dan budaya. Orang-orang dengan disabilitas/ketidakmampuan sering mengalami kesulitan beradaptasi dalam kehidupan baru mereka. Mereka dapat memiliki kepercayaan dan citra diri yang rendah, takut berhubungan dengan orang yang dicintai, kecemasan serta mengalami depresi. Semua dari masalah tersebut dapat mempengaruhi fungsi seksual seseorang. Untuk kategori keempat adalah efek dari kondisi komorbiditas terutama diabetes, penyakit jantung serta depresi yang dapat menyebabkan disfungsi seksual pada patologi disabiltas yang utama. Kemudian banyak obat-obatan umumnya diresepkan pada penderita disabilitas dimana juga dapat menyebabkan perkembangan disfungsi seksual (seperti yang akan dijelaskan pada bagian bab lain).
            Hal ini penting bagi praktisi untuk mempertimbangkan faktor-faktor dari semua lima kategori  dalam mendiagnosa dan mengobati pasien dengan disfungsi seksual. Disabilitas-spesifik disfungsi seksual akan dibahas di bawah ini.
Cedera Spinal Cord
Berbeda dengan disabilitas lain yang akan dibahas dalam bab ini yaitu disfungsi seksual pada pasien dengan cedera tulang belakang (SCI). Disfungsi seksual ini telah diteliti dengan baik pada kedua jenis kelamin (lihat bab 55). Jenis disfungsi seksual penderita bergantung pada sebagian besar pada kadart sumsum tulang belakang dan tingkatan cedera. Prevalensi penurunan dorongan seksual dilaporkan terjadi pada 25% sampai 60 % setelah stroke pada kedua gender. Stroke juga menurunkan secara signifikan frekwensi aktivitas seksual pada kedua gender dan pada sebuah studi, kira-kira 50 % penderita stroe tidak beraktivitas seksual sama sekali sampai 1 tahun pasca stroke.
            Efek fisik stroke yang berkontribusi terhadap disfungi seksual antara lain adalah posisi tubuh dan gerakan,hemineglect, hemianopsia, dan spastisitas. Fungsi neuroanatomi dari fungsi seksual belum banyak diketahui. Tetapi, beberapa studi melaporkan bahwa hemisfer kanan lebih dominan untuk mengatur fungsi seksual dibandingkan hemisfer kiri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa disfungsi seksual pascastroke lebih berkorelasi dengan beberapa komorbiditas medis, pengobatan, dan faktor psikososial dibandingkan dengan efek langsung dari stroke.

Trauma Otak
            Prevalensi disfungsi seksual yang erjadi setelah trauma otak dilaporkan sebanyak 4% sampai 71%, range yang terlalu luas yang menunjukkan bahwa banyak kelemahan dalam studi tersebut, juga menunjukkan bahwadalam penelitian tersebut terdapat berbagai type dan tingkat keparahan trauma. Type disfungsi seksual yang dilaporkan sama dengan disfungsi seksual pasca stroke, termasuk penurunan ketertarikan seksual, dan frekuensi aktivitas seksual pada kedua gender. Disfungsi ereksi dan disfungsi ejakulasi pada laki-laki, dispareunia, anorgasme,penurunan lubrikasi pada wanita. Di pihak lain,traumaotak juga mengakibatkan hyperseksual seperti kecanduan masturbasi. Hal ini dapat terjadi jika trauma mengenai system limbik atau region prefrontal yang bisa menyebabkan disinhibisi, atau jika mengenai kutub temporal bilateral yang menghasilkan sindrom hypersexual dan hiperoral Kluver-Bucy. Prevalensi dan tipe disfungsi ereksi bisa berasosiasi dengan kerusakan global jaringan otak pada kedua hemisfer dan trauma fokal. Disfungsi seksual tidak berkorelasi dengan kerusakan kognitif, lamanya amnesia postrauma, dan kecacatan neurologis. Pengobatan, beberapa anticonvulsan, bisa mempunyai andil besar terjadinya disfungsi seksual setelah trauma otak. Faktor psikososial memainkan peranan penting dalam fungsi seksual setelah trauma otak dimana depresi adalah indicator sensitive disfungsi seksual. Faktor psikologi yang penting lainnya adalah status kesehatan dan kualitas hidup,anxietas, dan pesona seksual pribadi.

Multipel Sclerosis (MS)
            Disfungsi seksual yang diinduksi MS terjadi pada 40-80% wanita dan 50-90% laki-laki yang menderita MS. Pada wanita dapat terjadi penurunan hasrat seksual, anorgasmia, penurunan lubrikasi vagina, dan peningkatan spastisitas aktivitas seksual. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penurunan rangsang seksual pada 62% wanita dengan MS. Laki-laki dengan MS cenderung mengalami ED,disfungsi ejakulasi, disfungsi orgasme, penurunan sensasi genital, dan penurunan hasrat seksual.
            Gangguan seksual berhubungan langsung dengan lokasi dan durasi lesi di spinal dan otak. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak faktor lain yang lebih berhubungan dengan perkembangan disfugsi seksual pada pasien dengan MS. Pada suatu study dikatakan bahwa disfungsi seksual pada pasien dengan MS pada laki-laki berkorelasi positif dengan kecacatan pada tungkai dan disfungsi BAK tetapi pada wanita lebih berkorelasi kuat dengan kelelahan. Keterbatasan sekunder meliputi kelelahan disfungsi BAB dan BAK, kelemahan otot, spastisitas, kurangnya koordinasi, kurangnya pengaturan posisi untuk mencapai kepuasan seksual, parestesia, nyeri, dan gangguan kognitif. Faktor psikososial yang berkontribusi signifikan pada  disfungsi seksual yang diinduksi MS meliputi ketakutan terisolasi, penolakan, ketergantungan pada seseorang akan kebutuhannya, dan depresi.

Kelainan Neurologi Lain.
            Parkinson’s Disease (PD) sering berasosiasi dengan penurunan kadar testosterone dan oleh karena itu menurunkan hasrat seksual. Pada suatu penelitian pada laki-laki dengan PD, hamper 40%  memiliki hasrat seksual yang rendah.laki-laki dengan PD juga bisa mengalami ED ddan PE. Pengobatan dengan dopamine dan dopamine agonis dapat menyebabkan hiperseksual sampai maniak seks. Hiperseksual ini berhubungan dengan stimulasi dopamine pada nucleus subthalamic dalam.
            Pasien dengan epilepsy dapat menghambat gesture seksual involunter, perasaan erotis, dan orgasme selama kejang. Disfungsi ini lebih sering terlihat pada kejang yang timbul di  temporolimbik dan fronta limbic. Kekejangan genital otomatis dilaporkan pada sutu studi pada 11% pasien yang diteliti denagn monitor EEG. Orgasme saat kejang lebih sering dilaporkan pada pasien wanita disbanding laki-laki.
            Neuropati perifer dapat menyebabkan disfungsi seksual terutama jika disebabkan oleh diabetes, amiloidosis, dan neuropati keturunan lainnyadenagn gejala urogenital. SGB berhubungan dengan ED.

Nyeri Kronik.
            Alasan disfungsi seksual pada pasien dengan nyeri kronik adalah multifactor, berhubungan dengan phisiologi, farmakologi, dan psikologi. Pada sutu penelitian, 73% pasien dengn nyeri kronik mengalami kesulitan dengan aktivitas seksual. Alasannya meliputi penurunan performa akibat eksaserbasi nyeri, dan lain-lain. Dan studi lainnya menyebutkan masalah seksual dilaporkan pada 46% pasien dengan LBP. Wanita dengan LBP mengalami penuruan frekuensi aktivitas seksual, nyeri saat berhubungan seks, dan penurunan hasrat seksual dibandingkan dengan yang mengalami nyeri pada leher. Disfungsi seksual pada pasien dengan nyeri kronik dilaporkan berkorelasi kuat dengan depresi. Banyak pengobatan juga menyebabkan disfungsi seksual. Nyeri pelvis kronik pada wanita berhubungan dengan kekerasan fisik saat anak-anak, penyalahgunaan seks, dan emosi. Dapat juga karena etiologi organic.

Penyakit Rematik.
            Efek OA pada fungsi seks berhubunga dengan nyeri sendi, kekakuan, dan kelelahan. Dan sendi panggul lebih sering menyebabkan kesulita seksual. Pergerakan sendi panggul total meningkatkan posisiseksual. Pada suatu studi, 65% pasien ditemukan terbebas dari kesulitan seksualsetelah operasi. Hal ini penting untuk menasehati pasien agar mengambil posisi yang aman setelah operasi untuk mengurangi resiko dislokasi dan beberapa operasi menyarankan untuk tidak melakukan aktivitas seksual selama 1-2 bulan setelah penggantian sendi panggul untuk alasan ini.
            RA juga dapat menyebabkan maslah pada posisi seksual melalui nyeri sendi, kekakuan dan kelelahan. RA pada laki-laki berasosisasi dengan penurunan hasrat seksual dan ED saat periode aktif inflamasi. Suatu studi terbaru pada RA menyebutkan 62% kesulitan seksuaal pada RA disebabkan nyeri sendi dan kekakuan dan 92% disebabkan berkurangnya hasrat dan kepuasan seksual.
            Efek dari fibromialgiapada disfungsi seksual juga dilaporkan pada suatu studi dimana ditemukan 97% wanita dengan fibromyalgia mengalami disfungsi seksual meliputi penurunan hasrat seksual dan orgasme. Derajat disfungsi seksual berkorelasi kuat dengan derajat depresi. Korelasi lainnya meliputi ketegangan, usia, intensitas nyeri, dan status pernikahan dan pekerjaan.

Amputasi
            Pasien dengan amputasi anggota gerak bawah mengalami masalah pada posisi seksual. Tetapi kehidupan seksual mereka disebabkan oleh berbagai faktor pada maputasi mereka meliputi depresi,sensasifantom, nyeri, masalah pada keseimbangan dan kesulitan pada posisi antivitas seksual. Amputasi pada ekstremitas atas berpengaruh pada kebebasan untuk mencari psosis yang nyaman saat berhubungan seks.

Diabetes Mellitus (DM)
            DM adalah salah satu faktor resiko kecacatan. Karena bisa menyebabkan stroke dan amputasi. Dm mempunyai peranan penting untuk perkembangan disfungsi seksualpada laki-laki.ED tiga kali lebih sring terjadi pada laki-laki dengan DM dibanding populasi dengan prevalensi 35-75%. PE juga dilaporkan terjadi pada 40%  dan seksual hipoaktif pad 25% pasien laki-laki dengan DM. Disfungsi seksual yang berkorelasi dengan DM berkorelasi dengan kontrolgula, lamanya penyakit, dan komplikasi diabetes.patogenesa disfungsi seksual akibat DM meliputi vaskulopati, neuropati otonom, dan penurunan produksi NO yang menyebabkan penuruan vasodilatasi pembuluh darah.
            Diabetes pada wanita tidak terlalu jelas berhubungan dengan fungsi seksual kareena keterbatasa penelitian. Hasrat seksualyag rendah,penurunan sensasi klitoris, disfungsi orgasme juga jarang dilaporkan. Faktor yang berhubungan dengan disfungsi seksual pada wanita jarang dianalisa dibandingkan pada laki-laki dengan DM. tidak adapenelitian yang khusus membicarakannya. Asosiasi disfungsi seksual dengan DM biasanya hanya dari depresi dan usia.

Penyakit Jantung
            Penyakit kardiovaskular merupakan komorbiditass lain pada kecacatan. Hipertensi, PJK, dan CHF berasosiasi pada peningkatan disfungsi seksual. Hipertensi lebih sering menyebabkan ED. 40 % sampai 95 % laki-laki hipertensi dan berhubungan dengan lamanya penyakit hipertensi. Mengontrol tekanan darah sering menunjang untuk mengembalikan fungsi ereksi. ED juga sering terjadi pada penyakit jantung, dengan prevalensinya 42 % sampai 75 %. ED sering menjadi indikator dini penyakit kardiovaskular, dan laki-laki (dengan atau tanpa disabilitas) yang mengalami ED dengan penyebab yang tidak jelas akan berpotensi menyebabkan komorbiditas yang mematikan. Telah dilaporkan 25 % sampai 63 % wanita dengan penyakit jantung mempunyai disfungsi seksual, meliputi berkurangnya nafsu seks, vagina yang kering, dyspareunia, menurunnya sensasi genital, dan menurunnya kemampuan orgasme.
            Penyakit jantung, terutama setelah infark miokardium menjadi faktor risiko, dan sering berhubungan dengan depresi dan ansietas, yang bisa berkontribusi pada disfungsi seksual. Faktor psikologis yang lain bahwa penyakit jantung sering kambuh pada aktifitas seksual. Kematian akibat penyakit kardiovaskular selama berhubungan intim sangat jarang. Dengan rata-rata pada laki-laki sekitar 0,2 per 100.000 dan risiko pada wanita 12 kali lebih rendah dari laki-laki.
            Banyak pengobatan penyakit kardiovaskular (meliputi antihipertensi dan digoksin) diketahui berkontribusi pada disfungsi seksual seperti pada penyakit jantung.
Depresi
            Depresi adalah salah satu komorbiditas tersering pada pasien dengan semua tipe disabilitas, dan ini menunjukkan kontribusi pada disfungsi seksual dalam berbagai varietasnya termasuk pengobatan, farmakologik, dan psikologik. Telah sering dilakukan penelitian dan publikasi tentang efek samping obat antidepresan terhadap seksualitas, tetapi depresi yang tidak diobati sangat erat hubungannya dengan disfungsi seksual. Pada satu penelitian dari 134 pasien dengan penyakit depresi berat yang tidak mendapat pengobatan, 40% sampai 50 % pria dan wanita mengalami hipoaktif seksual, menurun 40 % pada wanita, dan 50% mengalami ED pada laki-laki yang depresi, dan 15% sampai 20% pria dan wanita mengalami kesulitan ejakulasi dan orgasme. Faktor psikososial pada pasien depresi yang berperan terjadinya disfungsi seksual meliputi sulit membangun hubungan dan merasa kurang percaya diri.
Disfungsi seksual dan obat-obatan
            Disfungsi seksual sering disebabkan oleh efek samping pengobatan yang rutin pada pasien dengan disabilitas. Hal ini penting bagi praktisi untuk menjaga komunikasi yang terbuka dengan pasien, mengerti efek samping pada seksualitas, dan menjelaskan risiko pada pasien sebelum meresepkan obat. Jika disfungsi seksual terjadi setelah penggunaan sebuah obat, penting untuk mengganti obat tersebut dengan golongan yang lain, dan mengobati disfungsi seksual tersebut. Alternatif yang lain, khususnya pada laki-laki, penggunaan obat seperti phospodiesterase-5 (PDE-5) inhibitor meniadakan efek samping seksualitas pada pengobatan awal. Tabel 31-3 merupakan sebuah rangkuman disfungsi seksual yang berhubungan dengan berbagai kelas obat yang biasa terjadi pada kasus psikiatri. Hal ini menjadi catatan penting dari penelitian pada area yang focus dengan disfungsi seksual pada laki-laki, namun sedikit yang diketahui mengenai efek obat-obat ini pada disfungsi seksual wanita.
Tabel 31-3 obat-obatan dan disfungsi seksual
Kelas Obat
Dampak pada disfungsi seksual
Diuretik (thiazid, spironolakton. Loop diuretic, chlorthalidon)
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks, ejakulasi yang lemah, ejakulasi yang buruk
Simpatolitik sentral (clonidin, α-metildopa)
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks
β-Bloker
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks (pada laki-laki dan perempuan)
α-Bloker (prazosin, terazosin)
Disfungsi ereksi, priapismus (jarang), ejakulasi yang buruk
Vasodilator (Hydralazin)
Priapismus (jarang)
Anti aritmia (digoxin, disopyramide)
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks
Anti kolesterol
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks
Selektif serotonin reuptake inhibitor
Disfungsi ejakulasi, anorgasmia (laki-laki dan perempuan), menurunnya nafsu seks (laki-laki dan perempuan), disfungsi ereksi
Antidepresan trisiklik
Menurunnya nafsu seksual, disfungsi seksual
Trazodon
Priapismus
Antipsikotik
Menurunnya kemampuan seksual (laki-laki dan wanita), disfungsi ejakulasi, disfungsi ereksi, priapismus
H2-Bloker (Khususnya simetidin)
Disfungsi ereksi, menurunnya nafsu seks, nyeri ereksi, ginekomastia
Baklofen
Disfungsi ereksi dan ejakulasi, menurunnya fungsi orgasme (laki-laki dan perempuan)
Gabapentin
Disfungsi ejakulasi, anorgasme (laki-laki dan wanita), menurunnya nafsu seks (laki-laki dan perempuan)
Opioid
Menurunnya nafsu seks, anorgasme, disfungsi ereksi
Benzodiazepin
Disfungsi orgasme (wanita), ejakulasi terlambat, menurunnya nafsu seks
Neurostimulan (methylphenidate, amantadin)
Kebiasaan hyper seksual

Obat antihipertensi dan kardiovaskuler
            Efek samping seksual adalah salah satu pertimbangan utama dari obat antihipertensi. Diuretik mempunyai hubungan terhadap terjadinya ED, gangguan ejakulasi, menurunnya nafsu seks, khususnya spironolakton, thiazid, klortalidon, dan loop diuretik. Frekuensi terjadinya disfungsi seksual dilaporkan rata-rata sekitar 5%. Thiazid bisa juga menyebabkan gangguan ejakulasi. Agen simpatolitik juga menyebabkan implikasi, khususnya obat-obat sentral seperti α-methyldopa dan klonidin, yang menyebabkan ED atau atau menurunnya nafsu seks sampai 20%-30% pasien. β-bloker menimbulkan disfungsi seksual (terutama ED pada laki-laki dan menurunnya nafsu seks pada laki-laki dan perempuan) melalui efeknya pada simpatolitik dan system vaskuler. Efek ini lebih buruk dengan agen nonselektif dan dengan dosis yang disesuaikan. Obat-obat ini menyebabkan disfungsi seksual yang signifikan pada masa lalu ketika β-bloker digunakan dengan dosis yang tinggi, tetapi sekarang, penelitian menunjukkan efek samping seksual dari obat-obat ini dengan dosis modern lebih sedikit dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. α- bloker seperti prazosin dan terazosin berimplikasi pada ED, gangguan ejakulasi, dan priapismus pada beberapa kasus. Tidak ada disfungsi seksual yang signifikan dengan pemakaian kalsium channel bloker, ACE-inhibitor, atau ARB. Hydralazin, yang merupakan vasodilator, berubungan dengan priapismus namun jarang terjadi.
            Digoxin menyebabkan menurunnya nafsu seks dan ED sampai 36% pasien. Hal ini disebabkan Karena sruktur kimia yang mirip hormone seks dan berhubungan dengan menurunnya testosterone dan luteinizing hormone, meningkatnya estrogen, dan ginekomastia. Obat antiaritmia disopyramid berhubungan dengan ED.
            Beberapa obat yang digunakan untuk hiperkolesterol berimplikasi pada ED dan memurunnya kemampuan seks. Diantaranya adalah statin, fibrat, dan niasin. Mekanisme untuk efek ini tidak jelas, tetapi obat-obat ini mempunyai efek seperti hormon seks.
Obat-obat antidepresan
            Obat-obat antidepresan dari berbagai golongan bisa menyebabkan disfungsi seksual. Sangat sulit untuk membedakan apakah disfungsi seksual terjadi karena depresi itu sendiri atau karena efek dari obat antidepresan.
            Selektif serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) menyebabkan disfungsi ejakulasi pada laki-laki (terlambat atau tidak ada ejakulasi dan orgasme) dan terlambat atau tidak ada orgasme pada wanita. Rendahnya nafsu seksual adalah efek samping signifikan yang lain dari disfungsi seksual yang dilaporkan baik pada laki-laki dan perempuan akibat SSRIs. SSRIs bisa juga menyebabkan ED tapi biasanya jarang terjadi. Prevalensi disfungsi seksual pada pasien pengguna SSRIs 16%-73%, dengan prevalensi tertinggi pada laki-laki daripada wanita. Rata-rata disfungsi ejakulasi dilaporkan 20%-75% untuk fluoxetin, 20%-67% untuk sertralin, dan 20%-30% untuk paroxetin.
            Antidepresan trisiklik (TCAs), digunakan untuk mengobati depresi dan nyeri neuropati yang bisa menyebabkan ED seperti juga menyebabkan rendahnya nafsu seks. Efek ini terjadi melalui mekanisme antikolinergik. Dari semua TCAs, desipramin memiliki efek samping disfungsi seksual terendah. Trazodon, yang memiliki struktur heterosiklik mirip TCAs, dilaporkan berhubungan dengan priapismus. Heterosiklik monoamin oksidase inhibitor berhubungan dengan insiden tertinggi terjadinya disfungsi seksual dari semua antidepresan. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors bisa juga menyebabkan disfungsi seksual, khususnya ED dan rendahnya nafsu seks, walaupun venlafaxin memiliki efek samping yang lebih signifikan dibanding duloksetin. Litium menyebabkan disfungsi seksual pada 14% pasien, tetapi 49% pada pasien yang juga diberikan benzodiazepine. Bupropion dan mirtazapin memiliki efek samping disfungsi seksual terendah dari semua antidepresan.
Obat-obat antipsikotik
            Obat-obat-neuroleptik telah dilaporkan menyebabkan disfungsi seksual karena meningkatkan prolaktin yang disebabkan oleh antagonis dopamin. Baik antipsikotik konvensional maupun atipikal bisa berimplikasi, dan efek samping yang paling sering terjadi adalah menurunnya nafsu seks yang terjadi pada 20%-73% pasien. Disfungsi ejakulasi, ED, dan priapismus dilaporkan yang paling sering disebabkan oleh obat-obat antipsikotik, meliputi haloperidol, risperidon, klorpromazin, dan tioridazin. Gangguan ejakulasi pada laki-laki dan terlambat atau tidak adanya orgasme pada wanita juga bisa disebabkan oleh obat-obat ini. Untuk antipsikotik atipikal, risiko disfungsi seksual dilaporkan antara 18%-96%, dan risperidon yang paling berhubungan dengan disfungsi seksual dan quetiapin yang paling jarang.

Obat-obat gastrointestinal
            Histamin-2 (H2) bloker seperti simetidin dilaporkan telah menyebabkan ED, nyeri saat ereksi, menurunnya nafsu seksual, ginekomastia, dan menurunnya jumlah sperma. Mekanisme ini terjadi karena efek antiandrogen. H2- bloker yang lain seperti ranitidine dan famotidin juga menyebabkan ED, tetapi jarang terjadi. Penghambat pompa proton seperti omeprazol bisa menyebabkan ginekomastia dan ED, tetapi mekanismenya belum diketahui. Metoklopramid bisa menurunkan nafsu seks dan ED pada laki-laki, karena teinduksi oleh hiperprolaktinemia.

Obat-obat lain yang digunakan pada praktek psikiatri
            Baklofen, khususnya dengan pemberian intratekal, diketahui berhubungan dengan disfungsi ereksi dan ejakulasi. Sudah ada laporan kasus bahwa pemberian baklofen secara oral berhubungan dengan menurunnya fungsi orgasme pada laki-laki dan wanita, yang berhubungan dengan efek negatif pada kontraksi pelvis, obat ini juga sebagai muscle relaxant.
            Obat-obat antikonvulsan menginduksi sitokrom P450, meningkatkan metabolisme androgen dan menyebabkan disfungsi seksual. Primidon, fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin semuanya juga berhubungan ED dan menurunnya nafsu seks. Gabapentin, sebuah antikonvulsi lebih sering digunakan untuk pengobatan nyeri neuropati, yang dilaporkan menyebabkan menurunnya nafsu seks dan aorgasme pada laki-laki dan wanita, serta disfungsi ejakulasi pada laki-laki. Pregabalin juga berhubungan dengan ED pada kasus lima pasien.
            Opioid menurunkan kemampuan seks dan menyebabkan anorgasme pada laki-laki dan wanita, yang juga menyebabkan ED dan menurunnya Mekanismenya dihubungkan dengan penurunan kadar testosteron dan keadaan hipogonadisme yang mana dapat terlihat dari pemakaian jangka panjang golongan opiat. Efek-efek tersebut dapat juga terlihat dari penggunaan golongan opium intratekal dan pada pria yang mendapat methadone dan buprenorphine untuk terapi ketergantungan obat-obatan. Tramadol telah lama dihubungkan dengan ejakulasi yang tertunda dan juga anejakulasi. Antiinflamasi non-steroid telah dihubungkan dengan kejadian ED.
            Golongan benzodiazepine, termasuk alprazolam, diazepam, dan clonazepam, diketahui dapat menyebabkan orgasme yang tertunda hingga anorgasme pada wanita, dan ejakulasi yang tertunda pada pria. Golongan ini juga dihubungkan dengan penurunan nafsu seksual.
            Golongan neurostimulan seperti methylphenidate dan amantadine dilaporkan dapat mengakibatkan perilaku hiperseksual.
            Golongan kortikosteroid dilaporkan dapat mengakibatkan nafsu seksual yang rendah. Golongan methotrexate telah diimplikasikan dalam ED, penurunan nafsu seksual, dan ginekomastia.
Evaluasi Disfungsi Seksual
Mengetahui Riwayat Seksual
Hal yang terpenting untuk diingat adalah bahwa kualitas hidup seorang pasien dapat diperbaiki secara signifikan apabila dokter yang menanganinya tidak takut untuk mendiskusikan masalah ini dengan mereka. Karena masalah seksual merupakan masalah yang sensitif, sebaiknya selama diskusi sikap terbuka dan fleksibel dipertahankan. Terdapat tiga metode pendekatan yang berbeda dalam memfasilitasi diskusi atau percakapan mengenai masalah seksual, yaitu “ALLOW”, “PLISSIT”, dan “BETTER” (kotak 31-1).
            Ketika bertanya kepada pasien mengenai disfungsi seksual, adalah penting untuk menilai perjalanan penyakit atau masalah dan kapan keluhan-keluhan tersebut timbul. Tak kalah penting untuk mendapatkan informasi apakah pasien mengalami ketidakpuasan atau penurunan kualitas hidup yang disebabkan oleh disfungsi seksual. Brief Sexual Symptom Cheklist dapat digunakan sebagai panduan untuk menggali riwayat kehidupan seksual pasien secara komprehensif. (gambar 31-4).
            Informasi menyeluruh mengenai disfungsi seksual pasien termasuk informasi mengenai kesehatan, seksual, dan riwayat psikososial. Riwayat kesehatan yang paling dasar terdiri dari riwayat pengobatan dan bedah, termasuk obat-obatan yang dijual di warung dan juga obat-obatan herbal, konsumsi alkoho, merokok, serta penyalahgunaan obat-obatan. Kondisi medis yang penting untuk diketahui meliputi penyakit jantung, diabetes, hipertensi, hiperlipidemi, kanker, BPH atau gejala pada saluran kemih bagian bawah, penyakit saraf, kondisi tiroid, dan defisiensi hormon seperti hipogonadisme, insufisiensi androgen, ataupun defisiensi estrogen). Pada wanita, penting juga untuk bertanya mengenai riwayat reproduksi, penyakit-penyakit ginekologi seperti fibroid, endometriosis, dan kondisi menstruasi saat ini.
            Riwayat seksual meliputi usia pertama kali mengalami pengalaman seksual, jenis-jenis aktivitas seksual yang dilakukan, jenis kelamin dari pasangan, riwayat penyakit menular seksual, dan jenis kontrasepsi apa yang digunakan. Pasien tidak diasumsikan sebagai heteroseksual sebelum diklarifikasi langsung oleh pasien tersebut.
            Riwayat psikososial yang berhubungan dengan disfungsi seksual meliputi riwayat depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan gangguan psikiatri lainnya. Riwayat kekerasan fisik, seksual, verbal, maupun emosional juga penting untuk digali lebih lanjut.
Metode ALLOW, PLISSIT, dan BETTER dalam memfasilitasi diskusi mengenai disfungsi seksual
A-    Bertanya kepada pasien mengenai aktivitas dan fungsi seksual
L- menentukan masalah pasien dan meyakinkan bahwa masalah tersebut merupakan masalah klinis
L- mengidentifikasi batasan dari disfungsi seksual
O- membuka diskusi dengan pasien, tak salah bila merujuk pasiek ke subspesialis
W- bekerja sama dalam menggapai tujuan dari terapi
P- diskusi mengenai disfungsi seksual harus atasseizin pasien
LI- memberikan sedikit informasi mengenai fungsi seksual yang normal dan dampak dari diabilitas
SS- memberikan sugesti khusus mengenai keluhan-keluhan tertentu dari pasien
IT- terapi intensif mungkin diperlukan, termasukmeruju ke subspesialis maupun terapis
B-  Mengangkat topik mengenai seksualitas
E- menjelaskan bahwa seksual merupakan sesuatu yang penting dan anda terbuka untuk mendiskusikannya dengan pasien
T- mengatakan pada pasien mengenai hal-hal yang akan digunakan untuk membantu pasien
T- menyesuaikan jadwal diskusi bersama pasien
E- memberikan edukasi kepada pasien mengenai efek samping dari terapi dan disabilitas itu sendiri
R- tulis di lembar rekam medis bahwa diskusi mengenai disfungsi seksual telah dilakukan

Pemeriksaan Fisik
Walaupun pemeriksaan fisik pada pasien dengan disfungsi seksual dapat normal, namun adalah penting untuk melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi paologis sekaligus memberikan edukasi mengenai kondisi-kondisi ataupun disabilitas yang sedang dialami oleh pasien. Pemeriksaan komprehensif meliputi tinggi badan, berat badan, tanda-tanda vital, auskultasi jantung dan paru, pemeriksaan tiroid, nodus limfe, payudara, dan perut; pemeriksaan nadi perifer, evaluasi edema pada ekstremitas bawah; pemeriksaan neurologis; dan pemeriksaan genitalia secara menyeluruh. Dalam hal tertentu, penting untuk melihat adanya tanda-tanda penyakit kardiovaskular (obesitas, hipertensi, edema pada tungkai) dan endokrinopati seperti tiromegali dan ginekomastia.
            Pemeriksaan neurologi harus meliputi status mental, motorik, dan sensori; pengukuran ROM pada sendi panggul, lutut, bahu, dan tangan juga penting. Penting untuk memperhatikan apakah pasien mempunyai gejala UMN ataupun LMN. Pemeriksaan sensori meliputi sentuhan ringan, pin-prick, dan propioseptik pada tungkai. Evaluasi pada tulang belakang T11-L2 dan S2-S5 perlu diperhatikan karena di sana terdapat alur simpatis dan parasimpatis. Refleks pada lengan dan tungkai diperiksa juga. Refleks pada anus dan bulbocavernosus juga diperiksa baik pada pria maupun wanita.
            Pada pria, pemeriksaan genitalia terdiri dari pemeriksaan lesi pada penis dan posisi uretra. Penis juga sebaiknya dipalpasi dalam keadaan strecth untuk mendeteksi adanya plak fibrous seperti pada penyakit Peyronie’s. Testis harus diperiksa, mulai dari ukuran, massa, dan posisi atau letaknya. Dan pada rektum, tonus sfingter, nyeri tekan pada dasar pelvis, ukuran prostat, massa, dan lesi juga harus dievaluasi.
            Pada pemeriksaan genitalia wanita, penting untuk menilai keadaan genitalia eksterna, peradangan atau atropi vulva, luka bekas episiotomi, dan juga lesi dermatologis. Pemeriksaan vagina dengan satu atau dua jari yang dimasukkan ke dalam vagina merupakan cara yang baik untuk menilai masalah umum yang terajdi pada disfungsi seksual. Vaginismus dapat dinilai dari adanya resistensi atau ketidakmampuan jari masuk ke dalam vagina. Nyeri tekan pada otot levator ani dan obturatorius internus bisa dinilai, begitu juga dengan kekuatan, kooordinasi, dan tonus otot-otot dasar panggul. Pemeriksaan bimanual bisa dilakukan untuk menilai abnormalitas dari rahim (uterine) dan adneksa, seperti massa dan nyeri tekan. Pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai tonus sfingter ani, nyeri tekan pada dan kontraksi volunter maupun involunter otot-otot dasar panggul, dan kemampuan relaksasi.


Baik praktisi wanita maupun pria harus memeriksa tanda-tanda infeksi atau penyakit menular seksual, termasuk sekret, bintik kemerahan, atau ulkus.

Evaluasi Diagnostik
            Sebagian besar uji laboratorium, termasuk prosedur diaknostik khusus, dapat digunakan untuk menilai asal-usul patologis disfungsi seksual. Pada umumnya, pemilihan terapi didasarkan keluhan utama yang tampak dan bukan etiologi yang menyebakan disfungsi. Sebagai akibatnya, uji diagnosis yang kompleks tidak dibutuhkan. Uji laboratorium disarankan bagi semua pria dan wanita dengan disfungsi seksual, termasuk complete blood cell coont, chemistry panel¸gula darah kuasa, dan profilipit kuasa. Uji laboratorium lainnya yang dapat disarankan berdasarkan  anamemsis dan temuan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan tiroid dan serum testosterone bebas, prolaktin, dan tingkat antigen spesifik prostrat. Pengukuran hormon seks lain seperti estrogen, follicle-stimulating hormone, hormon luteinizing, atau testosteron total telah menunjukkan kegunaan yang kurang bermanfaat pada kebanyakan kasus. Uji vaginal wet moont atau uji penapisan untuk gonoroe, klamidia, atau human immunodeficiency virus dapat dilakukan bila secara klinis dicurigai terdapat infeksi.
            Untuk laki-laki dengan ED, macam-macam prosedur diagnostic khusus digunakan untuk menilai etiologi khusus suatu penyakit, biasanya pada persiapan operasi. Kegunaaan tes ini telah berkurang sejak lahirnya obat-obatan oral penghambat PDE-5, dengan kemudahanan pemakainan, tingkat efektivitas yang tinggi, dan rendahnya efek samping. Prosedurnya meliputi penile color duplex ultrasound, pemantauan pembengakakan penile pada malam hari., farmakoarteriografi, farmakokavernosometri atau farmakokavernosografi (PHCAS atau PHCAG), dan uji elektrodiagnostik. Penile color duplex ultrasound merupakan uji yang paling praktis dan seringkali digunakan sebagai modal diagnostik. Uji ini merupakan alat untuk mendiagnosis ED vaskulogenik dan minimal invasi. Pengukuran pembengkakan penile nokturnal berkaitan dengan eriksi pda waktu tidur dan secara tradisional telah digunakan untuk membedakan ED psikogenik dan organik. Penile farmakoarteriografi, PHCAS, atau PHCAG, dan uji elektrodiagnostik seperti stimulasi saraf dorsal atau somatosensori membangkitkan potensi bersifat lebih invasive dan membutuhkan waktu yang lama sehingga jarang digunakan.
            Pada wanita, ultrasound  pada pelvis dapat diindikasikan apabila gangguan patologis pada uterus atau adneksa dicurigai. Kegunaan penilaian secara objekstif pada peredarahan darah genital, seperti halnya dengan penilaian pada fotoplestimografi vagina, dan teknik pencitraan lebih lanjut seperti functional msgnetic resonance imaging saat ini digunakan secara terbatas hanya pada penelitian.

Terapi Disfungsi Seksual
Hypoactive Sexual Desire Disrorder in Men/ Gangguan hasrat seksual hipoaktif pada laki-laki
            Hanya sedikit sekali penelitian telah dilakukan mengenai gangguan hasrat seksual hipoaktif pada laki-laki, hanya sedikit terapi pilihan yang diketahui. HSDD sekunder pada laki-laki diketahui paling banyak terjadi akibat tipe lain dari disfungsi seksual, biasanya ED atau PE. Terapi disfungsi seksual primer diikuti dengan peningkatan hasrat. HSDD sekunder seringkali dihubungkan dengan efek samping obat, jadi dengan mengubah dosis atau kategori obat akan dapat meningkatkan  hasrat seksual pasien. HSDD primer diperkirakan berhubungan dengan “Rahasia seksual” seperti bentuk variasi bangkitan (seperti laki-laki yang mengalami bangkitan seksual dengan pornografi internet tetapi tidak dengan partner seksnya), lebih memilih masturbasi seks dibandingkan partner seks, riwayat trauma seksual, atau konflik orientasi seksual. Mengobati faktor-faktor psikososial ini dan membuat pasien jujur dengan keadaan dirinya dan partner seksnya mengenai motivasi sebenarnya akan sangat membantu.
Hipogonadisme dan rendahnya tingkat testosteron diketahui berkontribusi terhadap terjadinya HSDD pada laki-laki dan terapi dengan suplemen testosterone diketahui bermanfaat. Tidak diketahui secara jelas apakah terapi testosteron pada laki-laki eugonadal dengan HSDD dapat meningkatkan hasrat seksualnya, tetapi setidaknya sudah ada dua penelitian untuk kasus ini.

Disfungsi Ereksi
            Revolusi terapi ED dimulai pada tahun 1998 dengan persetujuan Food and Drug Administration (FDA) terhadap sildenafil, generasi pertama penghambat PDE-5 yang ada saai ini, yang memiliki efek samping rendah dan memiliki efekasi yang luar biasa mengatasi spektrum tingkatan penyakit yang menyebabkan ED. Tiga penghambat PDE-5 yang telah disetujui saat ini adalah: Sildenafil (Viagra), Vardenafil (Levitra), dan Tadalavil (Cialis). Sildenafil dan Vardenafil memiliki kesamaan farmakokinetik, dengan onset aksi dalam 30 hingga 120 menit dan durasi efikasi 4 hingga 5 jam. Tadalafil memiliki onset aksi 30 hingga 60 menit dan durasi efikasi dalam 12 hingga 13 jam. Tadalafil telah disetujui digunakan untuk dosis harian atau dosis sesuai kebutuhan. Penghambat PDE-5 telah diteliti dan terbukti efektif bagi pasien dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes, SCI, MS, dan depresi. Penghambat PDE-5 telah dilaporkan meningkatakan fungsi ereksi secara signifikan pada 60 hingga 70% pasien. Laki-laki dengan SCI memiliki rata-rata kesuksesan 80%. Efek samping penghambat PDE-5  yang dilaporkan termasuk sakit kepala, muka memerah, rhinitis, nyeri punggung, kehilangan pendengaran, dan kelihatan penglihatan karena pembentukan non arteritik anterior iskemik optic neuropati. Pengobatan ini merupakan kontra indikasi pasti pada pasien yang menggunakan nitrat untuk nyeri dada. Penghambat PDE-5  baru seperti Avanafil, Udenafil, dan Mirodenafil saat ini masih dalam uji coba klinis.
            Penghambat PDE-5 diketahui kurang efektif pada pasien dengan ED yang sangat berat, diabetes yang tidak terkontrol dnegan neuropati, dan penyakit vaskuler berat, dan orang yang telah menjalani prostatektomi radikal. Saat ini beberapa agen oral lain menunjukkan manfaat terapi. Salah satunya yang saat ini yang tersedia termasuk apomorfin sublingual dan yohimbine. Bremelanotide, reseptor agonis melanokortin, diketahui manjur pada berbagai uji coba klinis, termasuk bagi pasien yang tidak berhasil diobati dengan sildenafil. Pengembangan obat-obatan ini terhenti pada tahun 2008 setelah munculnya kekhawatiran karena efek samping berupa peningkatan tekanan darah. Terapi oral masa depan yang potensial termasuk reseptor agonis melanokortin lain, reseptor agonis dopamine, dan penghambat Rho-kinase.
            Terapi second-line setelah terapi penghambat PDE-5 gagal termasuk terapi injeksi intrakavernosa, terapi intrauretral alprostadil (medicated urethral system for erection-MUSE atau sistem medikasi uretral untuk ereksi), alpostradil topikal, dan alat vakum konstriksi.
            Injeksi intrakavernosal penile telah digunakan selama beberapa decade, dengan angka kepuasan terapi 87% hingga 93,5%, relative dengan sedikit efek smaping, dan onset aksi yang cepat (gambar 31-5). Tingginya rata-rata penghentian telah dilaporkan, dan komplikasi yang dpat muncul termasuk priapisme dan penyakit Peyronie’s. Terapi injeksi yang paling umum adalah alprostadil, papaverin, dan fentolamin dengan berbagai macam variasi.
            Terapi intrauretral alprostadil dengan sistem MUSE dapat digunakan sebagai alternative bagi pasien yang tidak dapat menggunakan penghamabat PDE-5 dan bagi pasien yang tidak mau mencoba terapi injeksi intrakavernosal (gambar 31-6). Efikasi terapi ini hanya 30% dan jarang sekali dikaitkan dengan hipotensi dan sinkop. Formulasi alprostadil tropical saat ini sedang dalam uji klinis dengan hasil efikasi sedang, dengan efek samping penis terbakar dan nyeri pada vagina partner seks.
           Alat vakum konstriksi menggunakan tekanan negatif untuk mengalirkan darah ke korpus kavernosum, yang kemudian dipertahankan dengan aplikasi dengan ikatan kostruksi pada basal penis (gambar 31-7). Rata-rata efikasi setinggi 90%, tetapi rata-rata kepuasan cenderung lebih rendah akibat nyeri pada penis dan ejakulasi yang terperangkap. Terapi anti kougulan merupakan kontra indikasi relatif. Alat ini seringkali dipilih bagi laki-laki yang tidak mau menggunakan obat-obatan. Pengikatan konstriksi tidak bisa dilakukan lebih dari 30 menit karena risiko iskemik terutama bagi pasien yang mengalami SCI.
Terapi third-line untuk ED termasuk pilihan operasi seperti prostese penis (gambar 31-8). Penil prostese dibagi menjadi dua tipe: semirigid (malleable) dan inflartable. Prostese semirigid memiliki batang elastomer silikon malleable dengan kabel logam di tengah yang benkok atau lurus untuk menghasilkan ereksi. Prostese inflatable memiliki silinder yang ditanam di korpus kavernosum, tempat penyimpanan dengan air, dan pompa yang ditempatkan di skrotum. Ereksi didapatkan dengan menekan pompa skrotum untuk mengalirkan cairan dari tempat penyimpanan ke silinder.
Tingkat infeksi telah turun sampai dengan sekitar 1% dikarenakan coating hidrofilik dan antibiotik yang saat ini telah tersedia pada prostesa.71 Tingkat kegagalan mekanis dilaporkan 5% pada tahun pertama, 20% pada tahun ke 5, dan 50% pada tahun ke 10.141
Ejakulasi Prematur
            Pengobatan yang tersedia untuk mengatasi ejakulasi premature (EP) hingga saat ini adalah terapi perilaku–kognitif atau cognitive behavioral therapy dan konseling psikologis. Pendekatan CBT yang bervariasi meliputi teknik frenulum squeeze dan start-pause frenulum, dan eksperimen terhadap posisi, ritme, kecepatan, jeda, dan kedalaman dari penetrasi penis.176,193 Strategi ini memiliki tingkat keberhasilan sampai dengan 70% pada jangka pendek, akan tetapi pengobatan jangka panjang hanya memiliki tingkat keberhasilan 25% - 60%.193 Pendekatan perilaku dan kognitif pada pengobatan sering kali sangat menyita waktu, mahal, serta dianggap membosankan dan terlalu mekanis, mempengaruhi tingkat keintiman dan spontanitas selama melakukan hubungan seksual.176,193
       Walaupun tidak ada obat-obatan yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan EP, banyak pendekatan farmakologis yang telah diteliti dan memiliki manfaat yang signifikan. SSRI adalah obat-obatan yang paling sering digunakan untuk mengobati EP dimana paroxetine merupakan obat yang paling efektif diikuti oleh fluoxetine dan sertraline.195 TCA clomipramine juga telah digunakan secara sukses tetapi efek samping antikolinergik membatasi toleransi obat tersebut.176 Baik SSRI dan klomipramine biasanya diberikan setiap hari karena onset kerja obat-obatan tesebut yang lambat (5jam), waktu paruh yang panjang, dan waktu pengobatan yang panjang (sampai dengan 4 minggu) untuk mencapai keadaan yang stabil.176, 195
       Permintaan pengobatan EP telah menjadi tujuan utama dari penelitian terhadap pelayanan ini, dan beberapa penelitian terkini telah memberikan hasil akhir yang menjajikan. SSRI konvensional telah diteliti sebagai penggunaan “as-needed” atau jika seperlunya dan hasilnya menunjukkan hasil yang bervariasi. Dapoxetine adalah jenis baru SSRI yang bersifat short-acting­(kerja-lambat) yang dikembangkan secara spesifik untuk penggunaan seperlunya untuk pengobatan EP. Dapoxetine mencapai konsentrasi plasma puncak dalam jangka waktu 1 jam dan memiliki waktu paruh 1.5 jam.176 Dapoxetine menunjukkan peninggkatan waktu ejakulasi secara signifikan dan meningkatkan kepuasan pasien.120,176 Penggunaan dapoxetine telah disetujui pada beberapa negara Eropa namun belum tersedia di Amerika Serikat. Tramadol juga merupakan pengobatan on-demand yang sangat baik untuk mengobati EP, dimana satu penelitian menunjukkan adanya waktu rata-rata ejakulasi yang meningkat 13 kali lipat.195,197 Agen topical seperti lidokain atau krim EMLA dapat berguna dengan cara menurunkan persepsi sensoris pada penis, dengan demikian memperpanjang ejakulasi.195
Anejakulasi dan Anorgasmia pada Pria
       Metode ejakulasi dibantu yang telah terbukti efektif untuk pengobatan fertilitas pada pria dengan SCI, MS, dan disabilitas lainnya meliputi stimulasi penis dengan menggunakan vibrator atau penile vibratory simulation (PVS) dan elektroejakulasi dengan probe rektalatau rectal probe electroejaculation (EEJ) (gambar 31-9 dan 31-10).228 PVS adalah teknik yang sering digunakan karena PVS memungkinkan produksi sperma dengan kualitas superior, lebih nyaman bagi pasien, dan dapat digunakan dirumah.58, 183 PVS hanya memproduksi ejakulasi 60%-80% kasus, sementara EEJ memiliki tingkat kesuksesan 80%-100%. EEJ biasanya hanya digunakan pada pasien yang pernah mencoba PVS namun tidak pernah berhasil, karena EEJ memproduksi semen dengan kualitas yang lebih rendah, harus digunakan pada tempat praktek dokter dan sering membutuhkan penggunaan anestesi untuk melaksanakan prosedur dan mendapatkan kembali ejakulasi.58 183 Ejakulasi yang dibantu dengan zat kimia atau chemically assisted ejaculation juga merupakan suatu kemungkinan, khususnya dengan penggunaan midodrine untuk meningkatkan tingkat kesuksesan ejakulasi dengan kombinasi dengan PVS.59 Sebuah penelitian terkini menunjukkan bahwa vardenafil dapat meningkatkan tingkat ejakulasi pria dengan SCI.87 Perlu diperhatikan untuk memantau tekanan darah dan melihat tanda-tanda dari disrefleksia otonom pada pria dengan trauma medulla spinalis yang menjalani elakulasi dibantu.
       Disfungsi ejakulasi dan orgasme pada pria lebih sulit untuk diobati ketika tujuan pengobatan untuk meningkatkan fungsi seksual yang bertentangan dengan fertilitas. Pengobatan farmakologis untuk disfungsi ejakulasi dan orgasme pada pria masih tidak disetujui walaupun terdapat beberapa seri kasus dan uji klinik terkontrol dengan cakupan kecil terhadap sildenafil, bupropion, amantadine, buspirone, cyproheptadine, dan yohimbine yang menunjukkan manfaat yang sederhana.153,161 Modifikasi perilaku dan kognitif dan psikoterapi diindikasikan pada pria dengan disfungsi orgasme psikogenik (situasional atau relasional).141
Priapisme
            Priapisme aliran rendah atau low-flowpriapism atau priapisme iskemik adalah sebuah kondisi medis gawat darurat, dan pasien dengan ereksi yang berlangsung lebih dari 4jam harus segera dibawa kerumah sakit terdekat saat itu juga. Pengobatan biasa melalui dekompresi dari korpora dengan aspirasi lambat terhadap darah selama 1 jam, diikuti dengan injeksi agonis a-adrenergik untuk menyebabkan kontraksi otot halus.141 Priapisme yang tersendat atau stuttering priapism dan priapisme aliran tinggi atau high-flowpriapism biasanya merupakan kondisi yang jinak yang dapat sembuh sendiri dan tidak membutuhkan pengobatan.141
Penyakit Peyronie
            Eksisi bedah dari plak fibrosa dan koreksi dari kurvatura penis adalah criteria standar untuk pengobatan penyakit Peyronie atau Peyronie’s Disease tapi hanya boleh dilakukan saat penyakit telah stabil selama lebih dari 6 bulan untuk memastikan efektifitas jangka panjang.234 Injeksi verapamil intralesi telah bermanfaat pada uji klinik acak multiple terkontrol.226 Terapi lain dengan tingkat kesuksesan yang lebih sedikit terbukti meliputi pengobatan melalui oral (termasuk colchicines dan aminobenzoate potassium [potabal] ), injeksi intralesi dari berbagai pengobatan lain, iontophoresis, terapi gelombang kejut extrakorporal atau extracorporeal shock wave therapy.226, 234
Kelainan Hasrat Seksual Hipoaktif pada Wanita.
            Saat mempertimbangkan pengobatan untuk wanita dengan hasrat seksual rendah penting untuk diingat bahwa hasrat seksual wanita sangat berbeda dari pria dan juga sangat berbeda dari apa yang sering digambarkan pada literatur medis. Banyak wanita hanya mengalamai hasrat seksual responsive sebagai kebalikan dari hasrat seksual yang bersifat spontan.22 Langkah pertama dalam mengobati wanita dengan keluhan hasrat seksual yang rendah adalah mengedukasi wanita tersebut bahwa hal tersebut normal bagi wanita, karena terdapat banyak pemahaman yang salah yang disebarkan oleh budaya popular mengenai apa yang seharusnya seorang wanita rasakan.79 Merujuk pasien pada hasil kerja dari Dr. Rosemary Basson seringnya memberikan banyak pencerahan dan dapat membuka pikiran pasien.19,21,22
            Pengobatan farmakologis utama untuk wanita dengan kelainan hasrat seksual hipoaktif adalah terapi testosteron banyak preparat pengobatan yang tersedia, namun patch transdermal adalah jenis preparat pengobatan yang paling banyak diteliti dan diresepkan.1 Banyak penelitian yang mengkonfirmasi efektifitas dari testosteron transdermal untuk meningkatkan hasrat seksual dan kepuasan pada wanita paska menopause atau wanita yang mengalami menopause melalui tindakan pembedahan yang mengalami ooforektomi bilateral. Beberapa penelitian telah dilakukan pada kelompok wanita premenopausal.42,74,214 Efek samping obat biasanya berhubungan dengan maskulinisasi, seperti hirsutisme dan jerawat. FDA tidak menyetujui penggunaan testoteron untutk mengobati wanita dengan kelainan hasrat seksual hipoaktif walaupun efektifitasnya cukup baik dan efek samping obat relatif rendah, dikarenakan data mengenai keamanan pemakaian jangka panjang belum tersedia.74 Secara teoritis penggunaan testosteron dapat meningkatkan resiko kanker payudara, dan sebuah penelitian terkini yang memonitor wanita yang menggunakan patch testosteron secara terus menerus selama 52 minggu membuktikan adanya kemungkinan sedikit peningkatan resiko terkena kanker payudara pada populasi yang mendapatkan pengobatan.64Pertimbangan lain mengenai penggunaan jangka panjang meliputi efek obat terhadap profil lipid dan kesehatan kardiopaskuler. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan testosteron pada wanita penting untuk dilakukan.
       Pengobatan lain yang menunjukkan efek yang menjanjikan untuk mengobati wanita dengan hasrat seksual hipoaktif meliputi tibolone (sebuah steroid sintetik) dan melanocortins.68,149,212
Kelainan Gairah pada Wanita
            Kurangnya gairah subjektif dan lubrikasi vagina yang inadekuat selama aktifitas seksual secara tradisional  lebih dihubungkan dengan faktor-faktor psikososial dibandingkan dengan penyebab-penyebab organik. Teknik perilaku seksual, terapi seks, dan konseling pasangan (secara original) diciptakan oleh Masters dan Johnson147) telah terbukti bermanfaat dengan cara membantu menurunkan kecemasan dan ekspektasiseksual yang berlebihan.149
       Intervensi farmakologis untuk wanita dengan kelainan hasrat telah banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir dengan hasil yang beragam. Fisiologi dari gairah wanita secara teoritisparallel dengan fungsi ereksi laki-laki, terdapat banyak antisipasi bahwa sildenafil akan terbukti sebagai pilihan pengobatan yang menjanjikan. Penelitian uji klinik secara luas memberikan hasil yang mengecewakan, terutama jika dibandingkan dengan efektifitas dari PDE-inhibitors pada pria dengan ED. Pengobatan tersebut dapat ditoleransi secara baik namun secara keseluruhan ringkasan dari penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan manfaat dari sildenafil pada kebanyakan perempuan dengan kelainan gairah yang umum tanpa penyebab organic yang diketahui.149,213 Pada wanita dengan disabilitas, PDE-5 inhibitors masih merupakan pilihan pengobatan yang layak, karena uji klinik terhadap obat tersebut memberikan hasil yang positif pada beberapa populasi yang kecil dan terbatas pada wanita dengan kelainan gairah genital didapat dari sebuah organ (diabetes tipe 1 premenopausal, wanita dengan trauma medulaspinalis, wanita MS, dan wanita yang menggunakan SSRI).51,149,169,224 Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk meneliti penggunaan PDE-5 inhibitors  pada wanita dengan atau tanpa disabilitas yang didapat.
       Pengobatan lain yang menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan daripada sidenafil untuk wanita dengan kelainan gairah pada populasi umum, khususnya pada wanita  pascamenopause. Pengobatan ini termasuk melanocortins, phentolamine, L-arginine dan alprostadil.68,109.122.194,196,211 Kelainan gairah yang didapat pada wanita pascamenopause seringnya diobatin dengan terapi estrogen local atau sistemik untuk meningkatkan lubrikasi vagina dan aliran darah.125 Beberapa alat mekanis juga dapat membantu meningkatkan gairah, termasuk stimulator vibratoris dan Eros Clitoral Therapy Device atau alat Terapi Klitoris Eros, vakum klitoris telah disetujui oleh FDA untuk menambah gairah dan orgasme wanita (gambar 31-11)36
Disfungsi Orgasme Wanita
            Disfungsi orgasme wanita tanpa adanya kelainan gairah yang menyertai biasanya dipertimbangkan sebagai masalah psikogenik. Pengobatan yang bermanfaat meliputi CBT (untuk memfokuskan penurunan kecemasan dan memungkinkan perubahan dalam pemikiran dan perilaku seksual), terapi terfokus pada sensasi (yang memandu dan pasangannya melalui beberapa sesi latihan dengan peningkatan level dari keintiman seksual), dan masturbasi secara langsung (mengedukasi wanita bahwa masturbasi adalah sehat dan normal dan melakukan martubasi dengan stimulasi dari diri sendiri untuk menemukan jenis stimulasi yang efektif baginya).79,125Pengobatan perilaku ini telah menunjukkan efektivitasnya pada 60% .155 Bupropion menunjukkan pada setidaknya 1 penelitian dapat membantu disfungsi orgasme pada wanita.161 Sama halnya dengan penurunan gairah, alat-alat mekanis dapat membantu pencapaian orgasme.36
Dispareunia
            Dispareunia memiliki penyebab psikogenik dan organik yang bervariasi, terutama pada wanita. Sebuah deskripsi terhadap pengobatan yang bervariasi untuk semua jenis kelainan ini berada diluar cakupan dari bab ini. Salah satu dari penyebab yang paling sering terjadi yaitu nyeri vulva, didiskusikan di bawah ini.
       Vulvodinia  dan vestibulodinia (secara resmi dikenal sebagai sindroma vestibulitis vulva) dapat diobati melalui pengobatan yang beragam. Salep lidokain topikal 5% terbukti efektif untuk menghilangkan rasa nyeri pada 57% pasien dan khususnya berguna apabila digunakan pada malam hari atau 30 menit sebelum melakukan hubungan seksual.91,245 Pengobatan oral seperti tricyclic dan obat antidepresan lain serta gabapentin telah diuji cobakan dan memiliki tingkat kesuksesan yang mirip dalam mengobati wanita dengan nyeri vulva dengan peningkatan sebesar 47% dari 57%.91,179 Terapi fisik dinding pelvis, vaginal surface electromyographic biofeedback atau kombinasi dari pengobatan ini menunjukkan tingkat kesuksesan 35% - 86% pada pasien (Gambar 31-12).32,33,81,90,100 Titik rangsangan dan toksin botulinum tipe A (botox) via injeksi telah dilaporkan memiliki manfaat yang cukup baik namun memiliki tingkat toleransi yang jelek pada pasien.91 Tindakan secara bedah berupa vestibulektomi memiliki tingkat keberhasilan pengobatan yang tinggi pada vestibulodinea dengan tingkat respons rata-rata yang dilaporkan setidaknya mencapai 80% tapi hanya diberikan pada kasus kronik dimana pengobatan konservatif tidak berhasil.91 Lima persen dari pasien yang mengalami tindakan pembedahan mengalami nyeri yang bertambah parah setelah vestibulektomi khususnya ketika mereka terdeteksi hipertonia muskulus levator ani pada pemeriksaan fisik sebelum tindakan pembedahan.91,179
Vaginismus
            Pengobatan pilihan untuk vaginismus merupakan salah satu desensitisasi sistematik tradisional terhadap ketakutan penetrasi vagina.125 Pada pendekatan ini pasien secara bertahap dan perlahan melakukan sentuhan sendiri pada intraoitus untuk memasukkan jarikedalam vagina, dan kemudian menyisipkan pelebar vagina atau vaginal dilator berbagai ukuran kemudian secara progresif meningkatkan diameter dari vaginanya (Gambar 31-13).241 Hilangnya kekauan vagina secara tiba-tiba merupakan hasil dari penurunan bertahap refleks perlindungan kontraksi otot dasar pelvic involunter.241 Karena pasien dengan vaginismus sering mengalami nyeri miofascial dasar pelvis dan hipertonia levator ani, terapis fisik juga dapat melakukan teknik pelepasan miofascial dan biofeedback elektromiografis permukaan pelvis untuk membantu pasien belajar melepaskan/ merelaksasikan kekakuan otot levator ani.81,95 Psikoterapi penyerta sering berguna untuk membantu pasien mengatasi ketakutannya dan berdamai dengan trauma psikologis masa lampau seperti riwayat pelecehan seksual.79,13

Kesimpulan
            Mengalami sebuah disabilitas atau kelainan tidak secara otomatis mengurangi pentingnya seksualitas dari keseluruhan kualitas hidup pasien. Pemahaman yang menyeluruh mengenai diagnosis dan pengobatan dari disfungsi seksual dengan konteks disabilitas, keinginan untuk mediskusikan seksualitas secara terbuka dengan pasien dapat memungkinkan dokter untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien dan memberikan kenyamanan dan harapan bagi mereka yang membutuhkan.