Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, Oktober 17, 2012

Ikterus Neonatorum (Bayi Kuning)


           

         “dok, kok bayi saya yang baru lahir kuning ya?” tanya seorang pasien. Fenomena ini sering dihadapi oleh orang tua yang baru saja melahirkan seorang anak.  Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dapat menjadi penyebab kuning pada bayi dan apakah kejadian ini patologis atau fisiologis. Kuning pada bayi dalam hal ini disebut dengan ikterus neonatorum.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya adalah bagian yang pertama kali mengalami kuning.  Pada neonatus atau bayi baru lahir,  baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L).
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7.
Ikterus pada neonatus tidaklah selamanya patologis (red: penanda adanya sebuah penyakit). Pada neonatus dapat pula terjadi ikterus fisiologis yang dapat merupakan fenomena dari keadaan berikut, yaitu:

1.       Peningkatan penghancuran eritrosit janin karena pendeknya usia eritrosit.
2.       Rendahnya ekskresi hepar dan rendahnya kadar glukoronil transferase pada neonatus.
3.       Gerakan usus yang lambat akibat belum ada intake.
Suatu ikterus pada neonatus dikatakan fisiologis jika ditemukan keadaan berikut, yaitu:
1.       Pertama kali muncul pada usia 24-72 jam setelah lahir.
2.       Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi prematur.
3.       Kadar bilirubin tidak melebihi 15 mg/dl
4.       Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan kata lain tidak ditemukan dasar patologis.
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi dapat digolongkan sebagai keadaan patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:
  1. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
  2. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
  3. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
  4. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
  5. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
  6. Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram="gram" span="span">, Masa gestasi 36 minggu, Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, Infeksi, Trauma lahir pada kepala, Hipoglikemia
  7. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur)
Untuk menilai kadar bilirubin secara klinis, Kramer memperkenalkan penilaian klinis derajat ikterus neonatal. Penilaian tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Kramer I               :  Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2.       Kramer II             : Daerah dada – pusat  (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3.       Kramer III            : Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4.       Kramer IV         :  Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5.       Kramer V             :  hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)

            Untuk mendiagnosa ikterus pada neonatus dapat dipakai bagan berikut sebagai pedoman.
Bagan diagnosa disajikan sebagai berikut:


Penatalaksanaan: (diambil dari Standar Penatalaksanaan IKA FK UNSRI)
  1. Fototerapi jika terdapat indikasi menurut grafik Cockington
  2. Fototerapi dihentikan jika kadar bilirubin tidak meningkat lagi dan kadarnya separuh dari kadar indikasi transfusi tukar bila kada bilirubin sebelumnya  < 13 mg/dl.
  3. Transfusi tukar dilakukan bila Hb tali pusat < 10 ; kadar bilirubin tali pusat > 5 g/dl; bilirubin total meningkat > 5 g/dl; bayi menunjukkan tanda bilirubin ensefalopati ( hipotoni, kaki melengkung, retrocolis, panas, panas tinggi); anemia dengan early jaundice dengan Hb 10-13 dan kecepatan peningkatan 0,5 mg%/jam; anemia dengan bilirubin > umur bayi (jam) setelah usia 24 jam pertama; bilirubin total > 25 mg/dl; anemia progresif saat pengobatan hiperbilirubinemia.
  4. Taransfusi tukar ulang jika: bilirubin meningkat lagi > 1 mg%/jam setelah transfusi tukar, bilirubin meningkat lagi > 25 mg%/dl, dan persisten hemolitik anemia.
Sedangkan menurut IDAI sendiri adalah sebagai berikut:
The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk tata laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu. Pedoman tersebut juga berlaku pada bayi cukup bulan yang sehat dengan BFJ dan BMJ. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam). Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu formula tidak akan menurunkan kadar bilirubin pada BFJ maupun BMJ yang terjadi pada bayi cukup bulan sehat.
Gartner dan Auerbach mempunyai pendapat lain mengenai pemberian ASI pada bayi dengan BMJ. Pada sebagian kasus BMJ, dilakukan penghentian ASI sementara. Penghentian ASI akan memberi kesempatan hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang berlebihan. Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 18–24 jam dan dilakukan pengukuran kadar

bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas penyebabnya bukan karena ASI, ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk sementara adalah untuk menegakkan diagnosis.

Persamaannya dengan AAP yaitu bayi dengan BFJ tetap mendapatkan ASI selama dalam proses terapi. Tata laksana yang dilakukan pada BFJ meliputi (1) pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan secara teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air gula dan formula pengganti tidak diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK, (5) jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu melakukan penambahan volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara, (6) jika kadar bilirubin mencapai kadar 20 mg/dL, perlu melakukan terapi sinar jika terapi lain tidak berhasil, dan (7) pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap lebih dari 6 hari, kadar bilirubin meningkat melebihi 20 mg/dL, atau

riwayat terjadi BFJ pada anak sebelumnya.

Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari manufaktur unit fototerapi tersebut.
Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus  dihentikan. Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi sinar dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya dengan kadar BST > 18 mg/dL (308 μmol/L) maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST turun sampai di bawah 13 – 14 mg/dL (239 μmol/L). Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3–4 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah dipulangkan. Bayi yang dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis.
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap bayi baru lahir cukup bulan dengan BST ≥ 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST ≥ 10 mg/dL tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar disesuaikan dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar bilirubin > 20 mg/dL pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin secepatnya. Terapi sinar harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium darah untuk penegakan diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus, pemberian cairan intra vena dapat dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis.
Terapi sinar dapat dilakukan bila ada riwayat pada saudara sebelumnya mengalami BMJ. Batas kadar bilirubin untuk melakukan terapi sinar biasanya lebih rendah pada kasus tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan. Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan terutama jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dL.

Lampiran: Grafik Cockington (usia gestasi > 35 minggu):
a. Untuk pedoman fototerapi:

b. Untuk transfusi tukar


Tambahan:
Kuning pada bayi dapat juga berhubungan dengan pemberian ASI. Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebabnya berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat ikterusnya).  Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk ikterus, yaitu:

1. Early onset breastfeeding jaundice (Onset beberapa hari pertama kehidupan)

Penurunan volume dan frekuensi makan dapat menyebabkan dehidrasi sedang dan pengeluaran mekonium terlambat. Dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, bayi yang mendapat ASI lebih sering 3-6 kali mengalami ikterus. Pada bayi dengan early onset hiperbilirubinemia, frekuensi pemberian Asi harus ditingkatkan menjadi lebih dari 10 kali perhari. Jika BB bayi tidak naik, BAB terlambat, dan dan mengalami kekurangan intake kalori, suplemen formula perlu diberikan. Tetapi ASI harus tetap diberikan untuk meningkatkan produksi. Tetapi, suplemen seperti dekstrosa dan air harus dihindari. tidak terdapat bukti jika bentuk ini berhubungan dengan abnormalitas ASI sehingga penghentian ASI hanya dilakukan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari, bilirubin meningkat >20 mg/dl, atau ibu memiliki riwayat bayi kuning pada bayi sebelumnya.

            2. Late onset breastfeeding jaundice ( Onset 6 – 14 hari kehidupan)

Bentuk yang kedua ini terjadi dengan peningkatan bilirubin dengan puncvak di hari ke 6-14 kehidupan. Tetapi keadaan ini tidak mengindikasikan bahwa ikterus dengan bentuk ini adalah patologis. Penyebab utama terjadinya kuning belum dimengerti dengan baik. Diperkirakian bahwa substansi ASI seperti β-glucuronidases, dan nonesterified fatty acids daqpat menghambat metabolisme bilirubin normal. Bilirubin dapat turun secara perlahan setelah bayi berusia 2  minggu tetapi dapat juga bertahan sampai usia 2-3 bulan. Jika ikterus karena ASI masih diragukan atau nilai bilirubin semakin naik, maka ASI dapat dihentikan. Jika dengan penghentian kadar bilirubin turun (rata-rata 3 mg/dl/hari), maka diagnosa dapat ditegakkan yaitu ikterus karena ASI sehingga ASI dapat kembali diteruskan.

"Menyusui dengan frekuensi sering walau singkat lebih baik daripada pemberian jarang dan lama". 


2 comments:

LIFE IS HARD mengatakan...

boleh minta referensinya ?

Anonim mengatakan...

Terima kasih, sangat bermanfaat

Posting Komentar