Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Sabtu, April 21, 2012

Hipertensi / Tekanan Darah Tinggi


               Hipertensi bagi orang awam atau bahkan tenaga kesehatan sendiri sering diartikan sebagi tekanan darah di atas 120 mmHg. Definisi tersebut memang tidaklah sepenuhnya salah. Hipertensi yang sebenarnya adalah naiknya tekanan darah pada seseorang dari rata-rata normal. Banyak orang bahkan tenaga kesehatan sendiri ketika menjelaskan kepada pasien bahwa tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan usia. (Pada suatu percakapan, seseorang atau tenaga kesehatan sering berkata: Oh, tekanan darahnya normal koq Bu. sesuai lah sama usia Ibu!)  Hal tersebut pun tidak sepenuhnya salah (red: lebih banyak salahnya). Hipertensi pada orang tua tidak akan terjadi selama faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah dalam keadaan sehat.(lihat bagian fisiologi tekanan darah) Di Bagian Anak FK UNSRI Palembang sendiri, Usia juga menentukan pada ukuran berapa tekanan darah seorang anak dianggap normal walaupun secara tidak langsung. Tekanan darah pada anak berhubungan dengan berapa tinggi seorang anak berdasarkan usia (maksudnya adalah berhubungan dengan persentil berapa tinggi seorang anak dengan jenis kelamin yang sama dari rata-rata normal anak seusianya). Dalam hal ini, jelas usia tidak berpengaruh langsung terhadap tekanan darah. Sedangkan di bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI Palembang digunakan standar Sevent Report of the Joint National Committee yang tidak mengklasifikasikan hipertensi berdasarkan usia tetapi berdasarkan seberapa besar resiko terjadinya komplikasi pada tekanan darah tertentu.
Saat ini hipertensi masih menjadi permasalahan di berbagai negara. Data dari National Health and Nutrition Examination (NHANES) menunjukkan bahwa 50 juta atau bahkan lebih penduduk Amerika mengalami tekanan darah tinggi. Angka kejadian hipertensi di seluruh dunia mungkin mencapai 1 milyar orang dan sekitar 7,1 juta kematian akibat hipertensi terjadi setiap tahunnya (WHO, 2003). Berdasarkan data dari Sevent Report of the Joint National Committee, Kenaikan tekanan darah pada usia 50 tahun di atas 140 mmHg meningkatkan kemungkinan terjadinya resiko CVD. Angka ini dimulai dari tekanan darah sekitar 115/75 dan meningkat dua kali lipat setiap kenaikan 20/10 mmHg. Makin tinggi htekanan darah seseornag, maka akan semakin meningkat pula resiko utnuk terjadinya CVD. Selain CVD, penyakit lain yang resikonya meningkat adalah serangan jantung, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal.
                Pada pengukuran tekanan darah di klinik, berdasarkan Sevent Report of the Joint National Committee, pasien harus duduk dulu sekitar
5 menit di kursi dengan kaki menyentuh lantai dan lengan sejajar jantung. pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri hanya diindikasikan pada pasien dengan resiko hipotensi postural. Pengukuran tekanan darah ini harus menggunakan cuff dengan ukuran yang sesuai. Tekanan darah harus diukur dua kali dan diambil rata-rata. Selain pengukuran tekanan darah di klinik, monitoring tekanan darah setiap hari pada saat aktivitas dan saat tidur sangat dianjurkan karena dari hasil ini lebih berkorelasi dengan kerusakan target organ dibandingkan pengukuran di klinik. Pada kebanyakan orang didapatkan penurunan tekanan darah rata-rata 10-20 mmHg. Pada orang yang tidak ada perbedaan tekanan darah, maka resiko terjadinya penyakit kardiovaskular akan meningkat. Pengukuran tekanan darah dapat juga dilakukakn di rumah. Pengukuran tekanan darah secara reguler di rumah dapat meningkatkan akurasi. Pada pengukuran sendiri di rumah, pasien dengan tekanan darah rata-rata 135/85 mmHg dapat diindikasikan sebagai pasien hipertensi.
 Pengaturan tekanan darah arteri rata-rata dilakukan dengan mengontrol curah jantung, resistensi perifer total, dan volume total. Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan, yaitu tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup karena tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat (contoh: pada orang-orang dengan kenaikan TIK, maka tekanan darah harus meningkat karena tekanan perfusi ke otak harus dipertahankan pada angka 60-70 mmHg. Jika tidak, maka darah tidak akan bisa sampai ke otak); alasan yang kedua adalah tekanan tidak boleh terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus. Penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi perifer total, yang dapat dirumuskan dengan :
Tekanan Darah Arteri Rata-Rata  =  Curah Jantung x Resistensi Perifer Total
Di lain sisi, ada faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga pengaturan tekanan darah menjadi sangat kompleks. Perubahan setiap faktor tersebut akan merubah tekanan darah kecuali apabila terjadi perubahan kompensatorik pada variable lain sehingga tekanan darah konstan.
Faktor yang mempengaruhi curah jantung, yaitu kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Kecepatan denyut jantung ditentukan oleh pengaruh saraf otonom, sedangkan volume sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena dan aktivitas simpatis. Aliran balik vena ditentukan oleh katup vena, efek penghisapan jantung, tekanan yang terjadi pada darah oleh kontraksi jantung, peningkatan aktivitas simpatis, pompa otot rangka, pompa respirasi, peningkatan volume darah.
Faktor yang mempengaruhi resistensi perifer total, yaitu jari-jari arteriol dan viskositas darah. Jari-jari arteriol ditentukan oleh kontrol intrinsik dan kontrol ekstrinsik. Kontrol intrinsik digunakan untuk menyesuaikan aliran darah melalui suatu jaringan dengan kebutuhan metabolik jaringan tersebut dan diperantarai oleh faktor-faktor jaringan yang bekerja pada otot polos arteriol. Kontrol intrinsik meliputi perubahan metabolik lokal menyangkut oksigen, karbodioksida dan metabolit lain, pengeluaran histamin, respon miogenik terhadap peregangan. Kontrol ektrinsik digunakan untuk mengatur tekanan darah dan terutama diperantarai oleh pengaruh simpatis dan otot-otot polos arteriol. Kontrol ekstrinsik meliputi aktivitas simpatis, epinefrin dan norepinefrin, angiotensin II, dan vasopresin. Sedangkan viskositas darah dipengaruhi oleh jumlah sel darah merah dan konsentrasi protein plasma.

Aliran darah ke suatu jaringan tergantung pada gaya pendorong berupa tekanan darah arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Karena tekanan arteri tergantung pada curah jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu jaringan berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami konstriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang mengalami vasodilatasi, tetapi juga ke otak, yang harus mendapat pasokan darah konstan. Oleh karena itu, variable kardiovaskuler harus terus-menerus diubah untuk mempertahankan tekanan darah yang konstan walaupun kebutuhan jaringan akan darah berubah-ubah.
Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroreseptor di dalam sirkulasi. Apabila reseptor mendeteksi adanya penyimpangan dari normal, akan dimulai serangkaian respons refleks untuk memulihkan tekanan arteri ke nilai normalnya. Penyesuaiannya terdiri dari penyesuaian jangka pendek dan penyesuaian jangka penjang. Penyesuaian jangka pendek (dalam beberapa detik) dilakukan dengan mengubah curah jantung dan resistensi perifer total, yang diperantarai oleh pengaruh sistem saraf otonom pada jantung, vena, dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang (dalam beberapa menit atau hari) melibatkan penyesuaian volume darah total dengan memulihkan keseimbangan garam dan air melalui mekanisme yang mengatur pengeluaran urin dan rasa haus.
Penentuan tekanan darah arteri rata-rata, curah jantung, kecepatan denyut jantung dan resistensi perifer total.

Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta pembuluh darah untuk menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total sebagai usaha untuk memulihkan tekanan darah ke normal. Reseptor terpenting yang berperan dalam pengaturan terus-menerus tekanan darah adalah sinus karotikus dan baroreseptor lengkung aorta, yang merupakan mekanoreseptor yang peka terhadap perubahan tekanan arteri rata-rata dan tekanan nadi. Ketanggapan reseptor-reseptor tersebut terhadap fluktuasi tekanan nadi meningkatkan kepekaan mereka sebagai sensor tekanan, karena perubahan kecil pada tekanan sistolik atau diastolic dapat mengubah tekanan nadi tanpa mengubah tekanan rata-rata. Baroreseptor memberikan informasi secara kontinu mengenai tekanan darah dengan menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial reseptor di kedua baroreseptor akan meningkat, bila tekanan darah menurun, kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron aferen oleh baroreseptor akan menurun juga.
Pusat integrasi yang menerima impuls aferen mengenai status tekanan arteri adalah pusat kontrol kardiovaskuler yang terletak di medulla di dalam batang otak. Sebagai jalur aferen adalah sistem saraf otonom. Pusat control kardiovaskuler mengubah rasio antara aktivitas simpatis dan parasimpatis ke organ-organ efektor (jantung dan pembuluh darah).
Jika karena suatu hal dan tekanan arteri meningkat di atas normal, baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta akan meningkatkan kecepatan pembetukan potensial aksi di neuron aferen masing-masing. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan pembentukan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler berespons dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis ke sistem kardiovaskuler. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, dan menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena, yang pada gilirannya menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali ke tingkat normal.
Sebaliknya, jika tekanan darah turun di bawah normal, aktivitas baroreseptor menurun yang menginduksi pusat kardiovaskuler untuk meningkatkan aktivitas jantung dan vasokonstriktor simpatis sementara menurunkan keluaran parasimpatis. Pola aktivitas eferen ini menyebabkan peningkatan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup disertai oleh vasokonstriksi arteriol dan vena. Perubahan-perubahan ini menyebabkan peningkatan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah naik kembali normal.
Refleks Baroreseptor untuk memulihkan Tekanan Darah ke Normal adalah sebagai berikut:
a.       Refleks baroreseptor sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah


b.    Refleks baroreseptor sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah


Refleks dan respons lain yang dapat mempengaruhi tekanan darah :
1.    Reseptor volume atrium kiri dan osmoreseptor hipotalamus à mengatur keseimbangan garam dan air à mempengaruhi regulasi jangka panjang tekanan darah dengan mengontrol volume plasma.
2.    Kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta à Fungsi : secara refleks meningkatkan aktivitas pernafasan sehingga lebih banyak O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang keluar à meningkatkan tekanan darah dengan mengirim impuls eksitatorik ke pusat kardiovaskuler.
3.     Respons-respons kardiovaskuler yang berkaitan dengan emosi dan perilaku tertentu diperantarai oleh jalur korteks serebrum-hipotalamus dan tampaknya telah diprogram sebelumnya à respon fight or flight simpatis, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah yang khas pada orgasme seksual dan vasodilatasi kulit local khas pada blushing.
4.     Perubahan mencolok sistem kardiovaskuler pada saat berolahraga à peningkatan besar aliran darah otot rangka, peningkatan curah jantung, penurunan resistensi perifer dan peningkatan tekanan arteri rata-rata.
5.      Kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk mengatur suhu harus didahulukan daripada kontrol pusat kardiovaskuler terhadap pembuluh itu untuk mengatur tekanan darah à tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit mengalami dilatasi menyeluruh untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh.
6.     Zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan dari sel endotel à inhibisi enzim yang mengkatalisis sintetis EDRF/NO menyebabkan peningkatan cepat tekanan darah.

Berdasarkan Sevent Report of the Joint National Committee, hipertensi dibagi  sebagi berikut:
Klasifikasi
Tekanan Sistolik
Tekanan Diastolik
Normal
Prehipertensi
Hipertensi Stage 1
Hipertensi Stage 2
< 120
120-139
140-160
> 160
Dan < 80
Atau 80-89
Atau 90-99
Atau > 100

Klasifikasi ini juga bermanfaat dalam penentuan metode yang akan digunakan dalam penatalaksanaan hipertensi. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilihat dalam diagram berikut yang diambil dari Sevent Report of the Joint National Committee.

Obat pilihan pada pasien hipertensi dengan penyakit lain yang memaksa: (sumber: JNC VII)


Pasien dengan CKD memerlukan perhatian. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Aryanti, 2008, menyatakan bahwa dapat terjadi penurunan eliminasi obat antihipertensi yang ekskresi utamanya di ginjal. Obat golongan ACEI, BB, dan diuretik perlu dilakukan penurunan dosis. Perlu juga dilakukan pemilihan obat, karena beberapa obat mempunyai efek samping yang merusak ginjal.
                Dosis obat antihipertensi yang digunakan dalam hipertensi adalah sebagai berikut:
  •  Diuretik
a.        Hidrochlor Tiazid
Mekanisme Kerja: Menghambat transport bersama Na-Cl di tubulus distal sehingga ekskresi Na dan Cl meningkat
Dosis: Dewasa: per oral pagi, untuk Hipertensi awal : 12,5 mg, dapat dinaikkan 25-50 mg/hari sampai tekanan darah tercapai.
b.       Furosemide
Mekanisme Kerja: Membantu ekskresi Na, Cl, dan K dan menghambat rearbsorbsi air dan elektrolit dengan aksi langsung pada ascending limb loop of henle.
Dosis: per oral dewasa, usia tua, inisial 20-80 mg/dosis. usia tua 20-40 mg/dosis, IV dewasa,usia tua bolus 0,1 mg/kg diikuti infus 0,1 mg/kg/jam dapat ditingkatkan 2x lipat tiap 2 jam, maksimal 0,4 mg/kg/jam.  
c.        Spironolakton
Mekanisme kerja: Diuretik hemat kalium yang mempengaruhi reabsorbsi natrium dengan secara kompetitif menginhibisi aktivitas aldoteron di tubulus distalis, yang menstimulasi ekskresi natrium dan air serta meningkatkan retensi kalium.
Dosis: 100-200 mg/hari, PO
  • Central Alfa Agonis
a.       Metildopa
Mekanisme Kerja: Kerja sentral, mengalami decarboxylasi di CNS menjadi a metilnoradrenalin à stimulasi a2 adrenoseptor à penurunan tonue simpatis dan tekanan darah.
Dosis: Dewasa awal 125-250 mg/hari (malam) dosis dpt dinaikkan max 3 gr/hari 3x/hari.
b.      Klonidin
Mekanisme Kerja: Efek sentral menurunkan tonus simpatis à menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, serta denyut jantung. stimulasi a2 adrenoseptor dan reseptor imidazoline sentral. (efek simphatethic outflow).
Dosis: Dosis: per oral awal dgn 0,075-0,15 mg/hari (malam), hipertensi berat dapat dinaikkan s/d 0,3 mg/hari, 3x/hari IV, 0,2 mcg/kg/menit  infus IV dgn kecepatan tdk lebih 0,5 mcg/kg/menit max 0,15 mcg/ infus bila perlu dpt 4x/hari.
  •  Post ganglionik simpatetik Neuro terminal bloker
a.       Reserpin
Mekanisme Kerja: Mengurangi katekolamin dan 5-hydroxytryptamine di banyak organ termasuk otak dan medulla adrenal. (menghambat proses penyimpanan/uptake0 katekolamin (epinefrin & norepinefrin) ke dlm vesikel. Depresi fungsi saraf simpatis sehingga menurunkan heart rate dan menurunkan tekanan darah arterial.
Dosis: Dosis Dewasa awal 0,5 mg/hr kemudian 1-2 mgu 0,1-0,25 mg/hr.
  • Selektif α1  bloker
a.       Prazosin
Mekanisme Kerja: Antagonis adrenergic α 1 perifer-> mendilatasi arteri & vena.
Dosis: Dosis mula-mula 3x1 mg/hr, dosis dpt ditingkatkan hg 20 mg dlm dosis terbagi.
  • Selektif β1 bloker
a.       Bisoprolol
Mekanisme Kerja: Anti hipertensi yg memblok adrenergik reseptor β1 pada jantung. Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tek. Darah.
Dosis: Dosis: Hipertensi Dewasa, awal 5 mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr. Org tua
Awal 2.5-5 mg/hr dapat ditingkatkan 2,5-5 mg/hr. Max. 20 mg/hr.
  • Selektif β1 bloker non ISA
a.       Atenolol
Mekanisme Kerja: Memblok res. Adr.β1, menurunkan frek.jantung& curah jantung, menurunkan pelepasan rennin. Efek bronkokontriksi kurang dibanding zat yg berikatan dengan reseptor β2.
Dosis: 50-100 mg/hr. HT: 50mg/hr, ditingkatkan stlh 1 mg mjd 100 mg/hr, jika angina 100 mg/hr dosis tunggal atau dosis bagi.
  • Non selektif β1 bloker
a.       Propanolol
Mekanisme Kerja: Memblok reseptor β1 dan β2, menurunkan frekuensi jantung & curah jantung, menurunkan pelepasan renin. Bronkokontriksi melalui antagonis reseptor β2.
Dosis: 2x40 mg, dapat ditingkatkan 120-240 mg/hr.
  • ACE Inhibitor
a.       Captopril
Mekanisme Kerja: Gol ACE inhibitor yang menekan sistem angiotensi-aldosteron dan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Menurunkan kadar angiotensin II, meningkatkan aktivitas renin, dan menurunkan sekresi aldosteron. Menurunkan tahanan perifer. Degradasi bradikinin dihambat.
Dosis: Awal 12,5-25 mg/2-3x/hr dapat ditingkatkan 50 mg/2-3x/hr. Maintenance 25-150 mg/2-3x/hr.
b.      Lisinopril
Mekanisme Kerja: Gol ACE inhibitor yang menekan sistem angiotensi-aldosteron dan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Menurunkan kadar angiotensin II, meningkatkan aktivitas renin, dan menurunkan sekresi aldosteron. Menurunkan tahanan perifer. Degradasi badikinin dihambat.
Dosis: Dewasa 10 mg/hr. lansia 2,5-5 mg/hr. max 40 mg/hr.
  • Angiotensin II Reseptor Antagonis
a.       Losartan
Mekanisme Kerja: Menghambat sekresi aldosteron, hipoproliferasi ot. Polos, efek kardioprotektif àblok Ang II (AT1) reseptor pada system karvas & renal.
Dosis: per oral  25-50 mg /hr 2x/hari, dapat ditingkatkan hingga 100 mg 1x/hari.
  •  CCB (dihidropiridin)
a.       Amlodipin
Mekanisme Kerja: Agen kalsium Chanell blocker Vaskuloselektif yang menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard.
Dosis: Dewasa, awal 5 mg/hr single dose. Max 10 mg/hr. Lansia 2,5 mg/hr.
b.      Nipedifin
Mekanisme Kerja: Agen Antiangina dan antihipertensi yang menghambat pergerakan ion kalsium melewati membran sel, menekan kontraksi jantung dan otot polos vaskuler. Efek: meningkatkan denyut jantung dan cardiac output, menurunkan resistensi vaskuler dan tek. Darah.
Dosis: PO (extended release)
Dewasa, org tua, Awal 30-60 mg/hr. Maintenance sampai 20 mg/hari.
  • CCB (non dihidropiridin)
a.       Verapramil
Mekanisme Kerja: Agen Kalsium chanell bloker dan anti angina, anti aritmia, dan anti hipertensi. Yang menghambat penyebrangan ion kalsium ke jantung dan membran otot polos vaskuler. Menyebabkan dilatasi darai arteri koroner, arteri perifer, dan arteriles. Efek: Menurunkan denyut jantung dan kontraksi myocardial dan melambtkan konduksi SA dan AV. Menurunkan resistensi perifer.
Dosis: per oral. Dewasa dan org tua, awal 40-80 mg 3 kali sehari maintenance: 480 mg atau kurang Extended release 120-240 mg/ hari.
b.      Diltiazem
Mekanisme Kerja: Berikatan dengan subunit α1pada kanal L sehingga menghambat masuknya ion Ca²+ melewati slow channel yang terdapat pada membran sel, inotropik negative, kronotropik negative, penghambatan konduksi nodus AV dan nodus SA, vasodilatasi perifer, penurunan frekuensi denyut jantung, meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan oksigen.
Dosis: CD atau LA atau XR : 180-240 mg 1x/hr.
Tujuan akhir terapi antihipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas. Karena sebagian besar pasien hipertensi, terutama yang berusia 50 tahun keatas, akan mencapai target TD diastolik dan TD sistolik bisa dicapai. Sehingga fokus primer terapi adalah untuk mencapai TD sistolik target. Pencapaian target TD sistolik dan diastolik, yaitu 140/90mmHg, berkaitan dengan penurunan komplikasi PJK. Pasien hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal, TD target adalah 130/80mmHg.
Percobaan klinik menunjukkan data penurunan TD dengan beberapa kelompok obat, termasuk ACE inhibitor, ARBs (Angiotensin-receptor blockers), beta bloker, Ca antagonis dan diuretik tiazid, menurunkan komplikasi hipertensi. Diuretik tiazid telah menjadi obat dasar pada sebagian besar percobaan sebelumnya. Pada percobaan yang telah dilaporkan terakhir oleh Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial, diuretik diakui lebih unggul dalam mencegah komplikasi hipertensi. Pengecualian yaitu Second Australian National Blood Pressure Trial yang melaporkan perbaikan sedikit lebih baik pada orang kulit putih dengan regimen yang dimulai dengan ACE inhibitor dibandingkan dengan diuretik. Diuretik meningkatkan efikasi banyak regimen obat antihipertensi, bisa sang at berguna dalam mencapai TD terkontrol, dan lebih menguntungkan daripada obat antihipertensi yang lain. Karena temuan ini, diuretik masih tetap digunakan.
Diuretik tiazid digunakan sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien hipertensi, baik tersendiri maupun tunggal, atau kombinasi dengan 1 atau lebih golongan yang lain. Jika suatu obat terdapat kontraindikasi, maka satu dari kelas lain terbukti menurunkan kejadian PJK.
Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai TD sasaran. Tambahan obat kedua dari golongan yang berbeda hams dilakukan lebih awal jika penggunaan tunggal dalam dosis cukup gagal mencapai TD sasaran. Ketika TD >20/10 mmHg diatas target, pertimbangkan memakai 2 obat, baik dalam sediaan terpisah maupun kombinasi jadi satu. Memulai terapi dengan lebih dari 1 obat dapat mencapai TD sasaran dalam waktu lebih singkat, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya hipotensi ortostatik, seperti pada pasien diabetes, disfungsi otonom, dan pada pasien yang sudah tua. Penggunaan obat generik atau obat-obat kombinasi ditujukan untuk mengurangi biaya pengobatan.
Kombinasi 2 obat atau lebih biasanya diperlukan untuk mencapai TD sasaran <130/80mmHg. Diuretik tiazid, beta bloker, ACE inhibitor, ARBs, dan Ca antagonis berguna untuk menurunkan insiden PJK dan stroke pada pasien diabetes. Pengobatan dengan ACE inhibitor atau ARBs mempengaruhi progresifitas diabetik nefropati dan menurunkan albuminuria, dan ARBs dilaporkan menurunkan mikroalbuminuria.
Selain pengobatan secara farmakologi, Sevent Report of the Joint National Committee juga merekomendasikan perubahan gaya hidup sebagai terapi hipertensi. Penerapan gaya hidup yang sehat adalah penting untuk mencegah peningkatan TD dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari penanganan pasien hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting termasuk penurunan berat badan pada individu dengan berat badan berlebih atau obese; rencana dietetik kaya kalium dan kalsium, tapi rendah natrium; aktivitas fisik dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hid up, selain menurunkan TD, juga memperbaiki efikasi, dan menurunkan resiko PJK. Sebagai contoh, diet 1600mg natrium pada pasien hipertensi memiliki efek yang sarna dengan terapi obat tunggal. Kombinasi 2 atau lebih modifikasi gaya hidup akan memberikan hasil yang lebih baik.
Sekali diterapi dengan antihipertensi, pasien harus kembali untuk follow up dan pengaturan terapi, dengan interval setiap 1 bulan sampai TD sasaran tercapai. Kunjungan lebih sering sangat diperlukan untuk pasien hipertensi grade II atau pada keadaan terdapat komorbid komplikasi. Serum potasium dan kreatinin harus dimonitor setidaknya 1-2 kali pertahun. Setelah TD target tercapai dan stabil, kunjungan follow up bisa dilakukan dengan interval 3-6 bulan. Hal-hal yang memperberat, seperti gagal jantung, penyakit penyerta seperti diabetes, dan kebutuhan tes laboratorium mempengaruhi frekuensi kunjungan. Faktor resiko kardiovaskuler lainnya harus dikontrol untuk mempertahankan TD stabil, dan merokok harus dihindari untuk lebih menunjang terapi dan upaya mencapai target. Terapi aspirin dosis rendah dipertimbangkan hanya jika TD terkontrol, oleh karena resiko stroke perdarahan meningkat pada pasien hipertensi tidak terkontrol.
Pada follow up pasien dengan hipertensi, follow up diarahkan pada 3 objek.
1.       Penilaian gaya hidup dan mengidentifikasi faktor resiko lain dari penyakit kardiovaskularatau kelainan lain yang mempengaruhi prognosis dan penatalaksanaan.
2.       Mencari penyebab Hipertensi
3.       Menilai ada atau tidaknya kerusakan target organ dan CVD


Sumber:
Ratna Juwita, ___, Fisiologi Tekanan Darah (available at: http://www.scribd.com/doc/47884233/Fisiologi-Pengaturan-TeKanan-Darah Accessed: April 14th, 2012)

Seventh Report of the Joint National Committee